Skip to content katagâ kataga grammatical particle Mga Halimbawa ng Kataga sa Tagalog Examples of Grammatical Particles in Tagalog pa still man yet din too na already Bata pa siya. Sheâs still young. May papel din ako. I have paper too. Kumain na ako. Iâve eaten already. MGA KAHULUGAN SA TAGALOG katagâ salitâ; yunit ng wika, binubuo ng isa o higit pang binibigkas na tunog o nakasulat na representasyon at nagsisilbing tagapaghatid ng anumang ipinahahayag ng isip, kilos, o damdamin katagâ maikling salita, karaniwang walang kahulugan Post navigation
- Κ ÏÑ
- Ô¹ Ñ ÎŽá Οáп
- ÐÏ Ñ Õ«Ð²ÑÏ á³Î¿Ð±Ðµá ÕžÖÐ¶Ï ÕŸá¡Ð²Ï
Setiap meluangkan waktu nongkrong di kedai kopi, saya selalu mendengar pembicaraan seru tentang filsafat. Dan lumrah jika saya selalu mendengar nama Nietzsche, Descartes, Socrates, dan Plato dalam pembicaraan tadi. Para filsuf tersebut memang terdengar seksi ketika dibicarakan. Terkesan ndakik-ndakik dan ubermensch. Namun, membicarakan nama tersebut terasa kurang jika tidak dibandingkan salah satu filsuf lokal bernama Ki Ageng nama blio, mungkin yang terbayangkan adalah seorang sakti dengan tampilan pertapa yang sederhana. Masalah tampilan memang benar, blio memiliki outfit khas berupa kaus polos berkalung sarung. Namun Ki Ageng Suryomentaram bukanlah ahli klenik. Bahkan ilmu yang dikemukakan blio jauh dari kata Ageng Suryomentaram Sebelumnya BPH Suryomentaram, 1892-1962 adalah anak ke-55 dari 79 putra putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII, raja Jogja. Sebagai seorang pangeran, blio tidak mendapat kepuasan. Suryomentaram habiskan masa mudanya dengan mempelajari sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Namun, blio tetap tidak mendapat kepuasan. Bahkan blio harus menghadapi kejadian pahit berulang kali. Puncaknya adalah permohonan blio untuk mundur dari posisi pangeran serta naik haji. Kedua permohonan itu tidak dikabulkan. Akhirnya Suryomentaram memilih kabur ke Cilacap menjadi pedagang batik. Namun kaburnya blio membuat Sultan tidak berkenan. Sultan memerintahkan pencarian dan menjemput Suryomentaram untuk pulang ke Kraton. Perburuan membuahkan hasil, blio ditemukan di daerah Kroya saat sedang menggali sumur. Terpaksalah Suryomentaram pulang ke kepulangannya tidak memberi kepuasan. Bahkan blio melelang seluruh harta bendanya karena berpikir harta adalah sumber kekecewaan. Blio habiskan waktu dengan keluyuran ke tempat sakral untuk tirakat. Konon, saat Sultan HB VII wafat, blio melayat dengan penampilan seperti gelandangan. Pada fase ini, Suryomentaram dipandang sebagai pangeran edan atau Sultan HB VII, Suryomentaram tetap mengajukan permohonan berhenti sebagai pangeran. Akhirnya Kraton mengabulkan dan menggaji £ 75 per bulan sebagai bentuk penghargaan anggota keluarga. Blio membeli tanah di Bringin, Salatiga dan menjadi petani. Sejak itu, blio dikenal dengan nama Ki Ageng Suryomentaram. Kebebasan ini digunakan blio untuk mengkaji alam kejiwaan serta falsafah hidup. Selama 40 tahun blio mengkaji dengan menggunakan diri sendiri sebagai media kisah Ki Ageng Suryomentaram, kita dapat melihat pergolakan seorang manusia untuk mencapai kepuasan dan kebahagiaan. Blio berjuang membebaskan diri dari segala kekecewaan dan depresi. Kristalisasi pemikiran Suryomentaram dikenal sebagai Kawruh Jiwo atau Ilmu Jiwa. Beberapa sumber menyebut sebagai Kawruh Begja atau ilmu kebahagiaan/keberuntungan. Anda dapat mendalami ilmu ini banyak buku atau tesis sampai disertasi. Namun saya utarakan sedikit ringkasan hasil belajar perkara ajaran blio yang terkesan mudah namun aslinya njelimet ini. Terutama pada bagian yang membantu kita lepas dari ini bukanlah ilmu klenik. Kawruh Begja tidak menuntut sesaji atau kemenyan. Kawruh Begja menganalisis fenomena jiwa dan inti pribadi manusia. Suryomentaram mengamati bagaimana seorang manusia bisa bahagia, sedih, lalu bahagia lagi. Kajian blio bermuara pada kenyataan bahwa bahagia bukan datang dari âbendaâ. Namun seluruh rasa berasal dari diri sendiri. Berasal dari pikiran pribadi.âDi kolong langit ini anakku, tak ada sesuatupun yang pantas diratapi atau ditakuti.â Pemikiran Suryomentaram tersebut yang membebaskan blio dari kekecewaan berpuluh-puluh tahun. Blio menemukan kenyataan bahwa bahagia dan sedih datang silih berganti. Tidak ada manusia yang bahagia atau sedih seumur hidup. âBeribu-ribu keinginan manusia telah gagal digapai, namun manusia tidak lantas sengsara seumur hidup.â Demikian pula sebaliknya. Tapi, manusia bisa membebaskan diri dari kesedihan dengan merasa begja atau beruntung tersebut dapat memisahkan manusia dari diriâ. Diri yang dimaksud adalah segala catatanâ identitas, dari jabatan hingga harta. Keberhasilan lepas dari diriâ ini membawa manusia pada kondisi manusia tanpa ciri. Manusia tanpa ciri inilah yang tenteram, santuy, dan bahagia. Dia tidak lagi terjebak catatan-catatan yang membuat diri kalap dan pikir begja ini dapat membebaskan manusia dari depresi. Perasaan celaka dan sedih yang mendalam tidak lebih dari olah pikir personal. Dengan merasa beruntung serta membebaskan diri dari catatanâ, manusia tidak perlu menyibukkan diri pada sumber kesedihan. Misalnya Anda sakit hati karena putus cinta, Anda harus bersyukur hanya putus cinta. Setidaknya cinta yang putus lebih baik daripada kepala yang putus. Inilah contoh ekstrim pemaknaan kawruh Anda lebih mendalami Kawruh Begja, Anda akan menemukan banyak kemiripan pemikiran Suryomentaram dengan konsep psikoterapi. Namun, Kawruh Begja tidak mengajak manusia untuk meredam dan beradaptasi dengan catatanâ yang menjadi sumber trauma. Suryomentaram mengajak kita untuk mematikan segala catatan dan rekaman buruk ini untuk mencapai yang saya katakan mudah namun njelimet. Membebaskan diri dari segala catatan dan rekaman hidup terasa mustahil. Namun, mencapai manusia tanpa ciri memang memerlukan olah pribadi yang tidak instan. Meresapi setiap peristiwa dalam hidup, lalu mengkajinya dengan inti pribadi. Pada akhirnya, kita akan menemukan kenyataan bahwa âsusah seneng iku digawe dhewe.â Atau susah senang itu dibuat banyak kisah hidup Ki Ageng Suryomentaram yang belum terbahas. Dari gerilya melawan penjajah, sampai berbagi ilmu tata negara kepada Soekarno. Namun, opus magnum blio tetaplah Kawruh Begja. Sebuah ilmu filsafat lokal yang tetap relevan, bahkan dikaji cabang keilmuan lain dari psikologi sampai sastra. Warisan ini yang menyebabkan blio dijuluki Plato dari Jawa. Menggoreskan nama blio dalam sejarah bukan sebagai pangeran. Namun sebagai manusia JUGA Meningkatnya Pamor Nasi Goreng Tanpa Kecap di Tangan Selebtwit dan tulisan Dimas Prabu Yudianto Mojok merupakan platform User Generated Content UGC untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di diperbarui pada 28 Juli 2020 oleh Rizky PrasetyaKitatelah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya, sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: "Suryomentaram dudu aku" (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses "menemukan diri yang baru" itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak.
Kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram focuses on human feeling in spiritual matters to live a happy life and not just physical aspects. The spiritual aspect must grow on the sense of self itself, while the physical aspects will arise after the growth of the spiritual aspects that are carried out. The spiritual aspect must be in line and side by side with the physical aspect to produce a complete sense of human self. Ki Ageng Suryomentaram asserted that he invited us as Indonesian people to feel the feelings of life, examine every taste, and achieve the true meaning of happiness. Happiness is not out there, but inside yourself. Happiness is free, does not depend on time, place and circumstances. This study tries to invite all of us to be able to feel the happiness that is in us so that it reaches a complete human being with essential happiness given by the Creator, Allah SWT. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018177Tasawuf Qurani Jawi Ki Ageng SuryomentaramStudi Kawruh JiwaAbd. Muid Mulawarman Hannase2, dan Abdullah Safei3 1Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DPK Institut PTIQ Jakarta2Dosen Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta3Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir Institut PTIQ JakartaEmail 1balesaloe 2mhannase 3abdullahsafei27 3 08170958106/089507642362Abstract Kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram focuses on human feeling in spiritual matters to live a happy life and not just physical aspects. îe spiritual aspect must grow on the sense of self itself, while the physical aspects will arise aîer the growth of the spiritual aspects that are carried out. îe spiritual aspect must be in line and side by side with the physical aspect to produce a complete sense of human self. Ki Ageng Suryomentaram asserted that he invited us as Indonesian people to feel the feelings of life, examine every taste, and achieve the true meaning of happiness. Happiness is not out there, but inside yourself. Happiness is free, does not depend on time, place and circumstances. îis study tries to invite all of us to be able to feel the happiness that is in us so that it reaches a complete human being with essential happiness given by the Creator, Allah kawruh joul, self, spiritualWACANA UTAMA MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018178A. PendahuluanKi Ageng Suryomentaram adalah salah satu pangeran dari Sri SultanHamengku Buwono ke VII tepatnya putera ke lima puluh lima dari tujuh puluh delapan bersaudara. Ia meninggalkan gelar kepangeranannya sebab merasa tidak pernah menemukan âorangâ. âSeprana-seprana aku durung kepethuk wongâ, begitulah kira-kira kalimat yang terlontar olehnya karena relasi yang terbentuk di keraton adalah relasi abdi-dalem, menyembah dan disembah, memerintah dan diperintah, mencari kesenangan dan menghindarkan dari penderitaan. Hal yang dikejar hanyalah kesenangan pada îsik bukan pada spiritual. Semua orang mengejar semat, drajat, kramat, dan mengira itulah faktor utama untuk bahagia. Setiap hari-harinyadilakukanuntuk berlomba-lomba menjadi hedon. Padahal tidak ada moralitas berdasar sesuatu yang ideal, tapi yang nyata ada rasa sakit menuju senang, dan menghindari diri dari rasa Rasa senang disebabkan oleh keinginan yang tercapai, dan keinginan yang tercapai itu selalu mulur sehingga muncul keinginan baru yang belum tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai itu mesti mungkret sehingga apa yang diinginkan menjadi mungkin tercapai, maka akan tercapailah keinginan yang telah mungkret itu dan rasa senangpun kembali timbul Ki Ageng Suryomentaram adalah tentang apakah kebahagiaan itu sesungguhnya. Menurut Ki Ageng, di atas bumi, di bawah kolong langit ini tidak ada barang yang pantas di cari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau Hatinya berkata, âsebaiknya kucari uang sebanyak-banyaknya agar menjadi kaya raya seperti orang itu, dan jangan sampai miskin seperti orang ini, agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek orang itu. Dan aku harus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti orang itu, dan jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti orang itu dan tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari kramat kekuasaan yang besar, supaya berkuasa dan dapat menaklukan orang itu. Jangan sampai lemah 1 Ryan Sugiarto,dkk, Ilmu Kawruh Jiwa Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia, Yogyakarta Dinas Kebudayaan Istimewa Yogyakarta, 2015, hlm. Abdurrahman El-Ashiy, Makrifat Jawa untuk Semua, Jakarta Serambi Ilmu Semesta, 2011, Cet. I, hlm. Ratih Sarwiyono, Ki Ageng Suryomentaram Sang Plato Dari Jawa, Yogyakarta Cemerlang Publishing, 2017, hlm. 57. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018179dan ditaklukan orang iniâ. Begitu hebat usahanya hingga ia merasa, lebih baik mati jika tidak tercapai!4B. Biografi Ki Ageng SuryomentaramKraton Kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa. Awalnya, Ki Ageng Panembahan karena keberhasilannya membantu sultan Pajang, maka mendapat hadiah tanah di Mataram yang kemudian berkembang menjadi kerajaan Mataram Islam yang besar. Kerajaan Islam Mataram ini meng-alami kejayaan pada masa pemerintahan Raden Mas Rangsang yang lebih dekat dikenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma. 1613-1645. Sultan Agung sangat anti kepada Belanda, terbukti pada tahun 1628 dan 1629 ia mengirimkan pasukannya ke Batavia untuk menggempur merupakan kota kerajaan terakhir yang menjadi salah satu pusat budaya di pulau Jawa. Saat ini, Yogyakarta menjadi ibukota dari salah satu provinsi di Indonesia yang berstatus daerah istimewa dan memiliki Keraton Yogyakarta sebagai peninggalan bersejarah. Keraton Yogyakarta berdiri setelah perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 Jw atau 13 Februari 1755 antara Sri Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi. Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan cipta karya estetik Pangeran Mangkubumi, yang setelah menjadi raja bergelar Sultan Hamengku Buwana I Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Pangeran Mangkubumi dikenal sebagai ahli bangunan yang unggul sejak masih muda. Ia memimpin pembangunan Keraton Yogyakarta, menentukan bentuk dan ukurannya, serta menyelesaikannya kurang lebih satu Raden Mas Murtejo adalah nama asli Sri Sultan Hamengku Buwono VII anak dari seorang Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang lahir pada 4 Februari 1839. Sri Sultan Hamengku BuwonoVII naik tahta menggantikan ayahnya sejak 1877. Ia menjadi seorang raja di Kraton Ngeyogyakarta Hadiningrat sejak 1877-1921. Ketika beliau memimpin banyak hal yang dilakukannya. Ketika itu masa krisis yang begitu hebat menimpah Yogyakarta karena gempa bumi yang meluluhlantahkan Yogyakarta. Disanalah peranan seorang raja yang bernama Sri Sultan Hamengku BuwonoVII alias Gusti Raden Mas Murtejo melakukan pembangunan îsik dengan menata ulang Yogyakarta. Selain itu juga, pembangunan ekonomi secara besar-besaran juga dilakukannya antara lain 4 Abdurrahman El-Ashiy, Makrifat Jawa Untuk Semua, hlm. Sekretariat Negara, Seri Proîl Propinsi Republik Indonesia, hlm. 41. Dinukil dari Saâadi, Nilai-nilai Mental Islam Dalam Kebatinan Kawruh Jiwa Suryomentaram, hlm. Soemardjo Nitinegoro, Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaaan Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta Foundation of Higher Education PUTRAJAYA, 1980, hlm. 30 dan 68. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018180pembangunan pabrik vanili di Kulon Progo, beberapa pabrik gula, dan banyak fasilitas baru yang di bangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pada masa pemerintahannya ada 17 belas pabrik gula yang didirikannya dan setiap pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp. Hal itu menjadikan Sri Sultan Hamengku BuwonoVII sangat kaya sehingga dijuluki Sultan Suguh. Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku BuwonoVII juga masa transisi menuju modernisasi, dikarenakan banyak sekolah modern didirikan dan bahkan ia mengirim putera-puteranya belajar hingga ke negeri tidak lagi menjabat sebagai raja, Sri Sultan Hamengku BuwonoVII pernah mengatakan bahwa tidak pernah ada seorang Raja yang meninggal di Kraton setelah saya, karena sesuai dengan ucapanya tersebut ada dua raja setelah dirinya yang meninggal dunia di luar Kraton, yaitu Sri Sultan Hamengku BuwonoVIII meninggal dunia ditengah perjalanan ke luar kota dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa, sebuah kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Sri Sultan Hamengku BuwonoVII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukma pada tanggal 30 Desember 1931 dan di makamkan di Sampeyan dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku BuwonoVII, memiliki tiga Garwadalem Padmi Permaisuri. Pertama, Gusti Kanjeng Ratu Kencono, yang kemudian dikakebonaken diceraikan dengan nama Gusti Kanjeng Ratu Wandhan. Beliau adalah anak dari Raden Ali Basah Abdulmustapa Senthot Prawiradirjo. Garwadalem Padmi Kedua, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, anak dari kanjeng Radeng Tumenggung Joyodipuro. Sedang yang ketiga, Gusti Kanjeng Ratu Kencono, anak dari Bendara Pangeran Harya Hadinegoro anak dari putera dalem Hingkang Sunuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II. Selain tiga permaisuri tersebut, Sri Sultan Hamengku BuwonoVII juga mempunyai 18 Garwa ampeyan. Dari semua isterinya Sri Sultan Hamengku BuwonoVII memiliki anak sebanyak 78 Ki Ageng Suryomentaram adalah anak ke dua dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dari Garwa Ampeyan Retnomandoyo. Ki Ageng Suryomentaram memiliki 6 saudara, yakni satu kakak perempuan, Bendara Raden Ayu Mangunnegoro. Adiknya berurutan ; Bendara Pangeran Harya Joyokusumo, Hadiwinoto, Bendara Raden Mas Subono, dan Sumaul Ryan Sugiarto, dkk, Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia, Yogyakarta Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2015, hlm. 2-48 Ryan Sugiarto, dkk, Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia, hlm. 5. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018181Sebagai seorang putera raja Sultan Hamungku Buwono VII, Bendara Raden Mas BRM Kudiarmaji yaitu bernama Suryomentaram kecil hidup dan dibesarkannya dalam suasana kehidupan tradisi kraton yang bersifat feudalis, suatu tata cara hidup kolektif yang menghargai orang berdasarkan keturunan darah raja dan bukan karena prestasinya bersifat mistis, magis dan okultis serta penuh dengan etika khas kraton, sehingga orang tidak dapat hidup secara bebas mengekspresikan ide, pendapat, sikap dan pandangan karena adanya batasan berbagai nilai etika Sebagaimana anak kecil, Bendara Raden Mas BRM Kudiarmaji nama dari Suryomentaram kecil, Ia bermain-main, belajar menari, dan belajar wayang. Di masa remaja Raden Mas Kudiarmaji sangat pandai menari dan menjadi penari di Kraton. Hingga memerankan puteri Mediun atau Retnodumilah karena ke luwesannya dalam menari melebihi kelenturan gerak tari seorang wanita. Sebab di usia remaja Raden Mas Kudiarmaji kelihatan cantik seperti wanita. Dari segi perawakan, Kudiarmaji mempunyai rambut panjang, wajah lonjong, bermata lebar, hidung mancung, dan mempunyai daun telinga besar. Dan ia memelihara kumis tebal di usia dewasa. Suryomentaram lebih dekat dengan dua orang dari 78 saudaraya yang lain. Pertama ia dekat dengan Notoprojo, anak ke-31 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dari Garwa Padmi Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Dan ia selalu berdiskusi tentang kebatinan. Kedua ia dekat dengan Suryadiningrat, anak ke-42 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, dari Garwa Ampeyan Bendara Raden Ayu Retnojuwito. Dan ia selalu berdiskusi dan belajar tentang ilmu politik dengan dengan saudara-saudararanya yang lain, Kudiarmaji menem-puh pendidikan dasar di Sekolah Kraton Srimanganti, setara dengan sekolah dasar yang berada di sekitar lingkungan Kraton. Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya, ia mengikuti kursus Klein Ambtenaar Pegawai Sipil Junior. Setelah selesai Klein Ambtenaar ia menjadi tenaga administratif di Residen Yogyakarta selama dua tahun. Kemudian selain kursus Klein Ambtenaar, ia juga mempelajari Bahasa Belanda, Bahasa Arab, dan Bahasa Dan ia juga memiliki minat yang begitu kuat dalam belajar îlsafat, terutama îlsafat hidup. Ia juga rajin mengerjakan shalat dan setiap ada guru atau kiai yang terkenal di datangi untuk belajar ilmunya, salah satu guru atau kiai yang di datanginnya adalah KH Ahmad Dahlan Tokoh Pendiri Muhammadiyah.119 Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Kawruh Jiwa Suryomentaram, Jakarta Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010, Cet. I, hlm. Ryan Sugiarto, dkk, Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia, hlm. 6-7. 11 Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Kawruh Jiwa Suryomentaram, hlm. 159. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018182Pada saat usia Kudiarmaji 18 tahun, Kudiarmaji diangkat menjadi seorang pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram atau RM Tapi penganugrahan gelar sebagai pangeran itu justru menggelisahkannya. Pangeran Suryomentaram mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hatinya. Ia merasa setiap saat hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, dan yang dimintai. Dia tidak puas dengan semua itu karena merasa tidak pernah bertemu dengan âorangâmanusia sejati. Di lingkungan keraton dia hanya menemukan sembah, perintah, marah, minta, dan tidak pernah bertemu dengan âorangâ. Iapun masygul dan kecewa, justru tatkala ia mendapati dirinya sebagai seorang pangeran yang kaya dan tentang kebahagiaan dimulai ketika pada suatu hari Pangeran Suryomentaram merasa terperangah ketika menyaksikan petani-petani yang bekerja di sawah. Dari jendela kereta api yang mengantarnya ke pesta perkawinan di Keraton Surakarta, ia manilai bahwa jenis pekerjaan itu menyebabkan sakit punggung. Ia menilai di saat orang mengalami penderitaan yang berat, mbungkak mbungkuk tandur, orang-orang dilingkungannya malah menikmati kehidupan yang mewah tanpa perlu bersusah payah mendapatkannya, karena telah memiliki keistimewaan sejak lahir. Namun demikian, sebagimana diungkapkan oleh Prawirawiwara, teman dekat sang pangeran, apakah para petani tidak lebih bahagia tinimbang sang pangeran, yang hanya bisa meratapi dirinya sendiri mengasihi mereka, karena setidaknya para petani tersebut sudah puas dengan hasil sawah yang sisi lain Suryomentaram mengalami kejumudan terhadap kehidupan keraton yang dialaminya. Aktivitas keraton yang ditemuinya hingga memasuki masa remaja adalah interaksi ndoro abdi, yang nampak darinya hanyalah â Yang disembahâ, yang dihiba-hibaâ, âYang diperintahâ, sehingga yang berlaku didalamnya adalah memerintah, marah, dan memohon. Di lingkungannya sang pangeran hanya mengetahui tuan-tuannya dan kekecewaan-kekecewaan yang mereka ekonomi, karena di bawah pemerintahan kolonial Belanda, praktis rakyat sangat tidak mandiri, menderita, miskin, dan keterbelakangan secara merata termasuk masyarakat Jawa yang menjadi lingkungan Suryomentaram. Raja-raja Nusantara tidak dapat berbuat banyak untuk rakyat karena secara politis juga di bawah kendali pemerintahan kolonial Belanda. Akibatnya bangsa Indonesia juga mengalami kemudengan secara Ryan Sugiarto, Psikologi Raos Saintiîkasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram, Yogyakarta Pustaka Ifada, 2015, Cet. I, hlm. Abdurrahman El-Ashiy, Makrifat Jawa untuk Semua, hlm. Ryan Sugiarto, Psikologi Raos Saintiîkasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 26. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018183Ini terbukti bahwa pada masa itu tidak muncul sastrawan, pujangga dan îlosof dengan karya besar yang layak dibanggakan yang mampu mencerahkan dan memajukan bangsa. Bahkan rakyat cenderung menyukai paham yang mistis, ramalan-ramalan, dan gugon tuhon yang tidak realistis dan irrasional. Apalagi dari segi pendidikan sangat memprihatinkan, hanya 2% rakyat yang dapat menikmati sekolah pendidikan dasar, itupun dari kalangan sangat terbatas, sehingga praktistidak ada prestasi di bidang sains dan teknologi bagi bangsa Masa Pencarian Makna Hidup, Ide, dan Pemikiran AwalManusia mengacu kepada esensi mahiyyah manusia itu sendiri. Ini terlon-tar ketika kita berbicara siapa itu manusia?. Maka ketika kita ingin mengetahui siapa itu manusia, kita harus terlebih dahulu mengetahui esensi mahiyyah sesuatu. Menurut para îlsuf atau ahli logika, esensi mahiyyah harus kita ketahui dengan mengenal jenis jins, spesies nau dan diîerentia atau ciri khas fashl dari sesuatu itu. Manusia adalah âjenisâ makhluk hidup dan makhluk hidup itu sendiri terbagi atas tiga spesies tumbuhan, hewan dan malaikat. Adapun âspesiesâ manusia adalah âhewanâ yang dideînisikan sebagai âmahkluk hidup yang bisa mengindra dan bergerak.â Dan âciri khasâ yang membedakan manusia dengan hewan lain adalah berbicara nâthiq. Kemampuan berbicara nâthiq melibatkan kemampuan untuk memahami simbol, baik berupa huruf atau kata suara yang bermakna, dan menyampaikan kepada orang lain sehingga istilah ini disebut dengan memahami âbahasaâ. Adapun manusia disebut mampu memahami bahasa karena manusia memiliki akal intelek yang diberikan Allah SWT kepadanya. Dengan demikian ciri khas inilah yang menjadi sebab manusia berbeda dengan hewan lain. Itulah sebabnya kemudian manusia disebut dengan makhluk rasional a rational being, sebagai terjemahan dari al-hayawân al-nâthiq serta jiwa yang diberikan kepada manusia disebut dengan jiwa rasional al-nafs al-nuthiqiyyah atau cukup disebut akal saja. Sebagai makhluk berakal, manusia sering ditempatkan antara hewan dengan nafsunya, dan malaikat dengan akalnya, hingga jadilah manusia makhluk yang unik yang mempunyai nafsu dan Sekretariat Negara, Seri Proîl Propinsi Republik Indonesia, Jakarta Depdikbud, 1993, hlm. 52. Dinukil dari Saâadi, Nilai-nilai Mental Islam Dalam Kebatinan Kawruh Jiwa Suryomentaram, Mulyadi Kartanegara, Lentera Kehidupan Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia, Bandung Mizan, 2017, Cet. I, MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018184Berangkat dari hal tersebutlah, Suryomentaram menilai esensi kawruh jiwa adalah deskripsi tentatif hakekat dan dinamika rasa setiap manusia. Ia merupakan hasil perenungan fenomenologis, pemikiran spekulatif yang terus menerus, observasi dan reîeksi intuitif yang jernih, mendalam serta pengalaman hidup pribadi Suryomentaram serta lingkungan sosial yang di amati, dalam upaya mengenal jiwa manusia secara âotentikâ dan komprehensif. Oleh karena itu ia menjelaskan betapa penting dan rumitnya mempelajari jiwa manusia. Diantaranya adalahPertama, Djiwa punika mboten kawon penting tinimbang raga, sarehne kawontenanipun mboten kasatmata pramila langkung angle dipun sumerep. Jiwa itu tidak kalah penting dari pada raga. Karena keadaannya yang tidak tampak oleh mata, maka ia sulit untuk diamati. Esensi jiwa menurut Suryomentaram adalah raos rasa atau kraos merasakan dan pangertos pengertian, insight.17Kedua, Pirantosing manungsa punika raga ingkang kanthi pantja indera lan djiwa. Djiwa punika wudjudipun raos kraos gesang lan pangertos. Kraso gesang punika kadosta kraos aku, kraos ana, kraos bungah, kraos susah, karep lan sapanunggalanipun. Pangertospunika putusan kangge netepaken prakawis ingkang saking pabtja indera lan kraosipun. Piranti manusia itu raga dengan panca inderanya dan jiwa. Dan jiwa itu wujudnya rasa hidup dan pengertian kognisi, intuisi. Rasa hidup itu seperti rasa aku, rasa ada, rasa senang, rasa susah, keinginan dan sebagainya. Dengan metode filsafat, Suryomentaram mengidentiîkasi esensi hakekat manusia dari dua sifat dasar alam benda di dunia. Secara ringkas dan garis besar tentang jenis dan tingkatan benda-benda tersebut dengan spesiîkasinya a. Jinising alam barang pejah kadosta siti, toya, latu, angin, gas lan sanes-sanesipun jenis alam benda mati seperti tanah, air, api, udara, gas dan sebagainya.b. Jinising alam gesang kadosta taneman, kewan lan manungsa jenis alam benda hidup seperti tumbuhan, binatang dan manusia.c. piranti raos utawi kraos gesang lan pangertos rasa atau kesadaran hidup dan pengertian, akal yang merupakan identitas esensial manusia. Manusia memiliki raos gesang rasa hidup yang meliputi raos bungah, raos susah, raos aku lan raos karep kepinginan nglestantunaken gesang lan pangertosan kanthi penggalih lan cipta18 rasa keinginan untuk melestarikan hidup serta pengertian dengan 17 Suryomentaram, Ilmu Djiwa, hlm. 1. Dinukil dari buku Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Kawruh Jiwa Suryomentaram, hlm. Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 80. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018185berpikir dan mencipta inilah yang membedakan dengan benda mati, tumbuhan, dan binatang. Dengan identitas esensial tersebut manusia dapat berkembang dan mengembangkan potensi-potensi Wategipun barang pejah punika mboten obah kajawi dipun obahaken, mboten tuwuh, mboten rembaka, mboten gadhah raos penggalih lan alam benda mati adalah tidak bergerak kecuali digerakkan, tidak tumbuh, tidak berkembang biak, tidak berperasaan dan tidak Watakipun barang gesang kados taneman inggih punika gadhan watak obah piyambak ananging mboten saged owah saking panggenanipun piyambak, saged thukul, tuwuh lan rembaka piyambak utawi dipun biyantu, tanpa raos lan Sifat benda hidup seperti tanaman adalah dapat bergerak sendiri tetapi tidak dapat pindah tempat sendiri, bisa tumbuh dan berkembang biak baik dengan dirinya sendiri atau dengan dibantu, tidak berperasaan dan Kewan gadhah watak saged obah piyambak kados mlampah piyambak, liar, tuwuh saged ageng lan rembaka lan pejah, gadhah raos luwe, ngelak, pengin benten jinis, nanging mboten gadhah raos sedih lan penggalihâ.21 Hewan bisa bergerak sendiri seperti berjalan, lahir, tumbuh besar, berkembang biak, kemudian mati, punya rasa instink lapar, haus, ingin dengan lain jenis, tetapi tidak punya perasaan dan Watakipun manungsa punika saged obah, pindah panggenan piyambak, lahir, tuwuh ageng, dewasa, gadhah anak-anak, pejah lan gadhah raos gesang lan karep nglestantunaken kangge saening gesang kanthi penggalih lan ciptaâ.22 Sifat manusia adalah dapat bergerak, dapat berpindah tempat sendiri, lahir, tumbuh, besar, dewasa, berketurunan, mati, mempunyai rasa kesadaran hidup dan keinginan untuk melestarikan kualitas hidup dengan perasaan dan esensi dasar manusia itulah, Suryomentaram mengembangkan pandangannya tentang eksistensi jiwa manusia dalam hidupnya, bukan dari perspektif teologi, tetapi dalam konteks peran sosial budayanya. Untuk itu maka 19 Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, Buku I, Jakarta CV. Haji Masagung, 1989, hlm. 34-35. 20 Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, hlm. Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, hlm. Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 79. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018186eksistensi jiwa manusia akan berkembang optimal yang diidentiîkasi sebagai berikuta. Gadhah Pangertos Lan Cipta sebagai Makhluk yang Berpikir dan Mencipta Dari sifat dasar manusia ini maka eksistensi manusia dalam konteks peran sosio-kulturalnya ditentukan oleh Sepinten anggenipun nggulawentah daya ciptanipun kangge pikantuk lan nuwuhaken ing bab pemanggih kawruh lan pangertosan menapa kemawon, ingkang anjalari kemajenganipun gesang bangsa Sejauh mana ia mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan apa saja, untuk memacu kemajuan kehidupan umat manusia. Itulah sebabnya maka ia sangat haus ilmu dan tekun belajar îlsafat, agama dan bahasa asing. Ini tampaknya berangkat dari kesadarannya bahwa bangsa Indonesia begitu lama hidup dalam penderitaan penjajahan, bodoh,, miskin dan terbelakang karena akal rasional ilmiah tidak dibudayakan sehingga ilmu pengetahuan tidak Gadhah raos sami guyub lan penggalihan luhur sebagai makhluk yang mempunyai perasaan sosial dan bercita-cita mulia Dalam konsep Suryomentaram rasa mengandung makna yang spektrumnya cukup luar, tidak sekedar sebagaimana dalam konteks psikologi yakni perasaan, yang meliputi aspek îsik indra, persepsi, emosi, konasi, kognisi ingatan, kesadaran intuisi bahkan juga bakat-bakat bawaan. Tentang eksistensi ini maka oleh Suryomentaram ditegaskan bahwa dalam kontek sosio- kulturalnya yaitu Tiyang utawi bangsa punika saged moncer lan misuwur manawi tansah saged ngupakara kanthi leres lan trap raos-raos ingkang saking panca indria, penggalihan luhur, panggayuh mulya, raos eling lan sadaya pirantos batin kados bakat-bakat kanthi ngrembaka Seseorang atau bangsa dapat maju dan terkenal sejauhmana ia membudidayakan semua kekuatan potensial berupa panca indra, idealisme, cita-cita, kesadaran, dan bakat-bakat agar dapat berkembang secara benar dan Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, Jilid II, Jakarta CV. Haji Masagung, 1990, hlm. Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 87. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018187 Untuk itu maka dalam mewujudkan, menjaga dan mempertinggi kualitas eksistensi kejiwaan sesuai dengan kemanusiannya, maka manusia beradab dan bersosial tinggi mengembangkan sistem kehidupan yang meliputi,251 Nyekapi kabetahan gesang kanthi tenaga, pirantos, gladi, sinau, makarya, sesarengan mencukupi kebutuhan hidup dengan tenaga, alat, latihan, belajar, bekerja dan kerjasama karena manusia hanya bisa hidup interaksi dan komunikasi dengan sesama manusia. Orang yang berbudaya memenuhi kebutuhan hidup tidak sekedar dengan tenaga kasar okol,otot, tapi lebih dari itu ia menggunakan akal, dengan alat, berlatih, belajar dan kalau perlu membentuk organisasi yang rapi dan Nyipta samukawis barang lan sarananing gesang menciptakan barang-barang dan peralatan keperluan hidup. Kemampuan ini dapat terlaksana hanya kalau akal daya cipta benar-benar dilatih dan dikembengkan dengan mempelajari ilmu dan teknologi. Bangsa yang kaya dan maju dengan teknologi tinggi mampu mencukupi kebutuhan secara lebih mudah dengan peralatan yang semakin canggih dan mencipta barang yang bermutu kemudian mengekspornya ke negara-negara yang tertinggal dengan harga Nyipta kagunan kangge kaendahaning gesang menciptakan karya seni untuk keindahan hidup. Ini karena seni sebagai simbul dan ekspresi kelembutan serta keindahan budi. Dengan seni hidup menjadi indah. Keunggulan seni merupakan ujud ketinggian budi dan oleh rasa penciptanya, demikian pula keindahan dan kelembutan budi rasa seseorang dapat terlihat pada seperti apa kualitas produk seni yang ia senangi. Seni yang halus, sopan, bermoral biasanya hanya dikomunikasi oleh orang berkarakter seperti itu Nuwuhaken wontenipun gegayuhan raos gesang kamanungsan ingkang luhur lan mulya menanamkan dan menumbuhkan rasa cita-cita hidup untuk pengabdian kepada kemanusiaan yang luhur dan mulia. Manfaat dari sikap tersebut adalaha Nuwuhaken raos sami tumbuhnya rasa kebersamaan pada sesama, equalitas;25 Grangsang Suryomentaram, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 88-89. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018188b raos sami saged nuwuhaken raos lega rasa senasib dapat menumbuhkan rasa bebas;c raos lega nebihaken raos pasulayan rasa rela dan lega lega menjauhkan rasa permusuhan;d saged tumindak kanthi bener dateng sesami bertindak benar kepada sesama;e nebihaken saking lepat amargi mboten mangertos menjauhkan dari kesalahan karena tidak tahu;f tuwuh raossekeca, tentram lan dame tumbuh rasa enak, tentram dan damai;g mboten nabrak roosing liyan tidak berbenturan dengan perasaan orang lain; danh gesang sesrawungan bebrayan saged dados tentram lan dame hidup bermasyarakat jadi tentram dan damai.Selanjutnya, Suryomentaram membagi jiwa manusia bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis, yang ia sebut dengan istilah ukuran. Setiap ukuran tingkat mempunyai karakter dan fungsi sendiri-sendiri. Tingkat-tingkat tersebut dari yang paling rendah atau luar sampai yang paling tinggi atau dalam sekaligus mencerminkan kualitas kepribadian individu dan kesehatan mentalnya yang secara garis besar dideskripsikan sebagai berikut26a. Juru Cathet jiwa ukuran I dimensi fungsi dan kesadaran aspek personal yang bersifat îsik sensual Pada dimensi ini manusia mencatat mempersepsi segala hal yang berhubungan dengan dirinya. Hasilnya berupa catatan-catatan pesepsi, prakonsepsi dan sentimen pada dimensi II. Pada dimensi ini tingkat kualitas individu baru mencapai pemenuhan kebutuhan îsik biologis yang kasat Cathetan-cathetan jiwa ukuran II sejumlah catatan hasil persepsi manusia, dimensi fungsi emosi Pada dimensi ini tindakan manusia dapat muncul didasari catatan-catatanpersepsi, prakonsepsi, interest, sentimen primordial yang berakar pada pengalaman hidupnya sejak masa kecil, baik yang menyenangkan 26 Diskripsi disarikan dan diterjemahkan dengan redaksi penulis dari Grangsang Suryomentaram, Kawruh Jiwa, Jilid II, hlm. 106-131 MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018189afek positif atau menyedihkan afek negatif bersifat bawah sadar. Pada dataran ini kualitas kejiwaan dan mental individu sudah lebih tinggi dari sebelumnya yaitu memenuhi kebutuhan emosional rasa seperti afeksi dan sosial, tetapi masih dibatasi oleh sekat-sekat primordial yang sempit seperti terdeskripsi pada bagian di bawah ini. Dimensi ini dalam kehidupan manusia meliputi aspek-aspek sebagai berikut1 Raja darbe harta benda2 Kahormatan drajat, prestise dan gengsi sosial3 Penguawasa pangkat, jabatan dan otoritas4 Kulawarga keluarga, kerabat dan keturunan5 Golongan organisasi, partai, lembaga, instansi dan sebagainya6 Bangsa asal usul bangsa, ras suku, warna kulit, negara dan bahasa7 Jinis jenis kelamin, seks8 Kapinteran kepandaian, keahlian, keterampilan, profesi dan pendidikan9 Kabatinan kepercayaann, agama aliran, ideologi10 Kawruh ilmu pengetahuan11 Raos gesang sentimen-sentimen lain yang umum terjadi pada manusia seperti budaya dan masyarakatc. Kramadhangsa jiwa ukuran III dimensi III, âsi tukang pikirâ atau kesadaran personal fungsi kognitif rasional Pada tingkat ini manusia bertindak berdasarkan pertimbangan kesadaran rasionalnya da realistis, tidak sekedar karena dorongan emosi dan sentimen pribadi primordialisme saja. Dengan demikian tingkat kualitas mentalnya sudah bagus tetapi masih sering mengalami hambatan dalam sosialisasi diri karena semata rasionalitas obyektif yang dikedepankan dalam pergaulan dan kurang bisa momong rasa lain. Perbuatan baik yang ia lakukan masih sebatas kesadaran rasional yang belum ideal belum sepenuhnya terbatas dari ikatan-ikatan primordialnya yang bersifat Manungsa Tanpa Tenger jiwa ukura IV dimensi manusia tanpa pamrih atau ciri diskriminator yakni manusia yang dalam bertindak sudah terbebas dari embel-embel yang menyebabkan seseorang merasa berbeda dengan orang lain. Dimensi ini bersifat intuitif dan altruistik sebagaimana digambarkan MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018190âManungsa tanpa tenger punika yen lelawan kaliyan tiyang sanes dados dhame, jalaran kraos sami, ingkang beda naming buntut-buntutipun. Raos dhame punika ngicali tapak awon ingkang nabet ing manah, lan punika pinangka wategipun manungsa tanpa tenger ingkang dasos gambaranipun jiwa sehat. Dados hasilipun nyinau Kawruh Jiwa, murugaken Jiwa dados sehatâ.27Artinya manusia tanpa ciri pamrih itu bila bertemu dengan orang lain merasa damai karena merasa sama, yang beda hanya predikat-predikat sampiran saja. Rasa damai itu menghilangkan kesan-kesan kenangan negatif dalam hati, dan itu sebagai watak manusia tanpa pamrih yang menjadi gambaran jiwa yang sehat. Jadi hasil belajar Kawruh Jiwa menjadi jiwa dimensi perasaan lain, sehingga yang muncul adalah perilaku altruistik tanpa pamrih, tanpa pertimbangan yang bersifat emosional dan sentimen egoisme golongan, keturunan dan sebagainya. Ia telah mampu memudahkan secara berimbang rasa da rasionya dalam sosialisasi diri. Pada posisi ini manusia, menurut Suryomentaram, berada pada puncak kesehatan mental 100%.28Antara kramadhangsa jiwa ukuran III dan manungsa tanpa tenger jiwa ukuran IV terdapat jalan simpang tiga, yakni konîik batin karena adanya tarikan emosi cathetan berupa tuntutan primordial dan membela diri, kognisi rasional kramadhangsa margi pratigan atau intuisi altruistik manungsa tanpa tenger berupa pemanggih leres pengertian dan kesadaran nurani dalam bertindak dan bersikap. Dalam gambaran manusia dengan ukuran yang ke empat tersebut Suryomentaram menilai individu telah memiliki kepribadian ideal yang ia identiîkasi dengan madeg pribadi dan windu kencana. Ia sudah terhindar dari konîik internal dan eksternal mnoten keganggu dening raos-raosipun piyambak. D. Konsep Mulur Mungkret dalam Pencapaian KebahagiaanPada dasarnya, bahagia adalah îtrah atau bawaan alami manusia. Artinya, ia merupakan sesuatu yang melekat dalam diri Bahagia sudah 27 Diskripsi disarikan dan diterjemahkan dengan redaksi penulis dari Grangsang Suryomentaram, Kawruh Jiwa, Jilid II, hlm. 12628 Diskripsi disarikan dan diterjemahkan dengan redaksi penulis dari Grangsang Suryomentaram, Kawruh Jiwa, Jilid II, hlm. 11129 Murtadha Muthahhari, Fitrah Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jatidiri Manusia, Jakarta Penerbit Lentera, 2008, hlm. 31. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Manusia MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018191seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, karena menurut îtrahnya, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan. Manusia adalah makhluk yang paling baik dan sempurna dibanding dengan makhluk lainnya. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Isrââ/17 70 sebagai berikut âDan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan, dan Kami telah memberikan rezeki yang baik kepada mereka, dan Kami telah lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurnaâ. Kabir Helminski, seorang suî penerus tradisi Jalaluddin Rumi, menulis tentang manusia sempurna dalam bukunya, îe Knowing Heart A Suî Path of Transformation. Menurut tokoh ini, sifat manusia sempurna adalah reîeksi dari sifat-sifat Tuhan yang sebagian tercermin dalam 99 nama Allah al-Asma âal Husna. Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan manusia, yang memerlukan hubungan yang harmonis antara kesadaran diri dan rahmat Ilahi. Itulah capaian kebahagiaan yang terindikasi bahwa kebahagiaan hidup seseorang dapat dinilai secara objektif objective happiness dan subjektif subjective happiness. Secara objektif, kebahagiaan seseorang dapat diukur dengan menggunakan standar yang merujuk pada aturan agama atau pembuktian tertentu. Rakhmat mencontohkan, misalnya ada seseorang bernama Fulan. Ia menghabiskan waktu mudanya untuk berfoya-foya, termasuk dengan melakukan segala tindakan dosa. Ia tidak pernah mengalami sakit. Ia mengaku sangat bahagia. Benarkah ia bahagia? Menurut ukuran agama, ia dianggap tidak bahagia, karena pada hari akhirat kelak, jika ia tidak segera bertaubat, akan masuk neraka. Dalam bahasa Tasawuf, si fulan ini dikatakan sedang mengalami apa yang disebut dengan istidraj. Artinya ia sedang diberi ujian oleh Allah dengan nikmat kesenangan untuk melihat apakah ia sadar atau tidak dengan nikmat yang didapatkannya. Menurut ukuran pembuktian rasional, ia juga tidak bahagia, karena lama-kelamaan ia pasti akan kehilangan harta, kesehatan, dan kesenangannya. Secara subjektif, kita dapat mengukur kebahagiaan seseorang dengan bertanya kepadanya dengan singkat apakah ia bahagia atau Demikian pula dengan konsep makna saat materialisme menjadi panglima, di mana kekayaan, jabatan, dan ketenaran menjadi dewa yang diagung-agungkan, kematian bunuh diri seorang 30 Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta Elex Media Komputindo, 2008, hlm. 19. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Manusia31 Jalaluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, Bandung Simbiosa Rekatama Media, 2008, hlm. 107, Lihat juga tulisan Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Kebahagiaan, Bandung Serambi, 2010. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Manusia. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018192aktor hebat peraih Oscar Robin William adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Kenyataan yang mengenaskan ini meniscayakan adanya redeînisi terhadap ukuran kesuksesan dan kebahagiaan. Dua komponen yang selama ini dianggap sebagai ukuran utama kesuksesan, yaitu kekayaan dan kekuasaan, perlu dilengkapi dengan hal-hal yang lebih mendasar lagi. Ariana Huîngton menawarkan empat elemen kesuksesan, yaitu kesehatan lahiriah-batiniah well-being, ketakjuban wonder, kearifan wisdom, dan sikap memberi giving. Dalam ukuran baru ini, sukses harus berbanding lurus dengan kebahagiaan. Sukses haruslah sebangun dengan kebermaknaan hidup. Jadi, persoalan setiap manusia adalah bagaimana menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya dengan mengisinya dengan hal-hal yang Bastaman, hidup bermakna adalah gerbang menuju Ia adalah corak kehidupan yang menyenangkan, penuh semangat, bergairah, serta jauh dari rasa cemas dan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi sebagai akibat dari terpenuhinya nilai-nilai dan tujuan hidup yang positif dan benar-benar didambakan. Kehidupan pribadi yang bermakna ditandai oleh adanya aspek-aspek berikut ini pada diri seseorang, yaitu hubungan antar pribadi yang harmonis, saling menghormati, dan saling menyayangi; kegiatan-kegiatan yang disukai dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat buat orang lain; kemampuan mengatasi berbagai kendala kehidupan dan menganggap kendala ini bukan sebagai masalah, tetapi sebagai peluang dan tantangan; tujuan hidup yang jelas sebagai pedoman dan arahan kegiatan yang dilandasi oleh keimanan yang mantap; rasa humor yang tinggi, yaitu mampu melihat secara humoristis pengalaman-pengalaman sendiri, termasuk pengalaman hidup yang tragis; secara sadar berusaha meningkatkan taraf berpikir; bertindak positif, mengembangkan potensi diri, yang meliputi îsik, mental, emosi, sosial, dan spiritual, secara seimbang, untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik dan meraih citra diri yang diidam-idamkan; dan melandasi semua hal yang di atas dengan doâa, ibadah, dan niat yang suci. Aspek-aspek di atas pada dasarnya merupakan turunan dari tiga jenis nilai yang oleh Frankl diyakini bisa menjadi sumber kehidupan yang bermakna, yaitu meliputi nilai-nilai kreatif atau berkarya creative values, nilai-nilai penghayatan experiential values dan nilai-nilai bersikap attitudinal values, 32 Yuswohady, âMeredeînisi Ukuran Suksesâ, dalam Kompas, Jumâat, 12 Desember 2014. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan HD. Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 196. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Manusia. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018193serta ditambah dengan satu jenis nilai yang dikemukakan oleh Bastaman, yaitu nilainilai pengharapan hopeful values.34Selanjutnya, beberapa komponen atau instrumen kebahagiaan dapat diidentiîkasikan secara objektif ke dalam beberapa hal berikut, yaitu terpenuhinya kebutuhan îsiologis material, misalnya makan, minum, pakaian, kendaraan, rumah, kehidupan seksual, kesehatan fisik, dan sebagainya; terpenuhinya kebutuhan psikologis emosional, misalnya, adanya perasaan tenteram, damai, nyaman, dan aman, serta tidak menderita konîik batin, depresi, kecemasan, frustasi, dan sebagainya; terpenuhinya kebutuhan sosial, misalnya memiliki hubungan yang harmonis dengan orang-orang di sekelilingnya, terutama keluarga, saling menghormati, mencintai, dan menghargai; dan terpenuhinya kebutuhan spiritual, misalnya mampu melihat seluruh episode kehidupan dari persepektif makna hidup yang lebih luas, beribadah, dan memiliki keimanan kepada Tuhan. Apabila keempat kebutuhan di atas dapat dipenuhi secara seimbang, dapat dipas-tikan bahwa seseorang akan merasakan kebahagiaan hidup. Jadi, kata kuncinya adalah pada terdapatnya keseimbangan dalam hidup seseorang. Para îlosof muslim sendiri membedakan adanya tiga tingkatan kebahagiaan, yaitu Pertama, kebahagiaan yang bersifat badani. Kedua, yang lebih tinggi dan lebih memuaskan, adalah kebahagiaan yang lebih bersifat intelektual, yakni penguasaan ilmu pengetahuan. Ketiga, yang merupakan kebahagiaan puncak hakiki, adalah kebahagiaan yang bersifat spiritual. Kebahagiaan jenis ini sering disebut pula kebahagiaan yang bersifat Ilahi, sebagaimana dipromosikan kaum Suî. Sebagian îlosof meenyebut kebahagiaan puncak ini dengan peraihan cinta Akan tetapi hal ini bukan kemudian dipahami bahwa tingkat kebahagiaan yang satu menegasikan pentingnya kebahagiaan yang lain. Di samping tingkatan kebahagiaan di atas, dikenal pula beberapa kategori kebahagiaan yang meliputi kebahagiaan yang bersifat jangka pendek-panjang, peripheral-ultimate, dunia-akihirat, jasmani-ruhani, hakiki-tidak hakiki, dan sebagainya. Lagi-lagi perlu diingat kembali, bahwa pengkategorian ini bukan dalam arti memisahkan secara diametral, tetapi sekadar untuk memudahkan pemahaman dan pengetahuan bagi manusia. Sebagai perbandingan, Ibn Miskawaih merinci tanda-tanda orang yang berbahagia sebagai berikut penuh energi, optimis, penuh keyakinan, tabah dan ulet, murah hati, memiliki sikap istiqamah, dan rela qanââah. Ciri-ciri ini tidak 34 HD. Bastaman, Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, Jakarta Rajawali Pers, 2007. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung Mizan, 2005, hlm. 203 MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018194melihat kebahagiaan dari dimensi instrumental bendawi, tetapi lebih mengacu pada dimensi etis yang berangkat dari nilai-nilai dan akhlak Dengan demikian kebahagiaan seseorang dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, secara objektif, yaitu dengan melihat sejauh mana tingkat pemenuhan kebutuhan, baik îsik, psikis, sosial, maupun spiritual pada diri seseorang secara seimbang. Kedua, secara preskriptif eksternal, yaitu dengan melihat apakah secara etis seseorang memiliki sifat, standar, atau ciri-ciri, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Miskawaih di atas dan tokoh lainnya dengan merujuk pada nilai-nilai agama, seperti adanya sifat pribadi yang penuh energi, optimis, penuh keyakinan, tabah dan ulet, murah hati, memiliki sikap istiqamah, dan rela qanââah. Ketiga, secara subjektif internal, yaitu dengan menanyakan kepada seseorang tentang perasaan subjektifnya terhadap kehidupannya. Misalnya, ketika seseorang mengatakan âSaya merasa bahagiaâ, tentu memiliki perbedaan dengan orang yang mengatakan âSaya sedihâ.Perjalanan peradaban manusia bergerak dari yang sederhana menuju yang canggih, dari yang kecil menuju yang besar, dari yang sedikit menuju yang banyak, dari yang rumit menuju yang gampang, dari yang irrasional menjadi rasional. Di manapun tempatnya, realitas dan dinamika peradaban manusia bergerak sebagai hasil pergesekan antara dua macam keinginan manusia yakni agar lebih... dan agar tetap. Manusia memiliki keinginan agar lebih baik, lebih enak, lebih banyak, lebih lengkap, lebih nyaman, lebih makmur, lebih bergengsi, lebih terkenal, lebih puas, lebih bahagia, lebih sempurna, lebih berkualitas,dan lain-lain. Untuk itu perubahan adalah keniscayaan. Jalannya; inovasi, renovasi, rekayasa, eksplorasi hingga eksploitasi yang telah melahirkan modernisasi, globalisasi, industrialisasi, komputerisasi, teknologi informasi, dan ada empat jenis rasa enak yang dialami setiap manusia, yaitu a. Senang vs SusahDi semesta ini, tidak ada sesuatu yang secara mutlak harus dicari, dihindari, atau ditolak secara mati-matian. Meski demikian, kita tetap saja akan terus berusaha mencari, menghindari, atau menolak banyak hal. Sering kali usaha kita itu terlalu berlebihan, seakan-akan kita bisa menciptakan rasa senang dan menghindari susah selama-lamanya. Yang demikian itu terjadi karena setiap kali kita mempunyai keinginanâbaik terhadap datangnya sesuatu yang kita anggap sebagai anugerah atau supaya terhindar dari peristiwa yang kita anggap musibahâ36 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, hlm. Ryan Sugiarto, dkk, Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia, hlm. 143-144. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018195pada saat yang sama kita juga berharap, bila keinginan tersebut tercapai akan membuat kita bahagia seumur hidup. Secara bersamaan juga, kita memendam ketakutan, jika yang kita inginkan itu sampai gagal, kita pasti menderita sepanjang masa. Tanpa sadar, kita berhalusinasi terhadap keinginan secara berlebihan. Tentu saja hal semacam itu sangat keliru. Karena faktanya, berjuta-juta manusia di dunia telah dapat mencapai keinginannya, namun mereka hanya senang sesaat dan tak lama kemudian bersedih kembali. Berjuta-juta manusia di dunia juga telah gagal menggapai keinginan, namun mereka hanya bersedih sesaat dan kemudian dapat merasakan senang kembali. Padahal, bila kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan, kita tidak akan puas sampai di situ. Kita akan kembali terobsesi untuk mendapatkan tambahan yang lebih dan lebih lagi. Karena pada dasarnya, keinginan yang sudah kita gapai senantiasa memanjang dan terus mengembang. Artinya, kalau pun kita merasa senang saat mendapatkan sesuatu, kesenangan itu hanya berlangsung sesaat karena kita akan kembali digelisahkan oleh keinginan baru yang menjadi perpanjangan dan pengembangannya. Begitu perpanjangan keinginan kita itu sampai pada suatu titik yang tak mungkin lagi kita capai maka sedihlah perasaan kita. Pada saat yang sama, ketika kita merasa mentok karena tak mungkin lagi menggapai keinginan kita, secara otomatis keinginan kita akan menyusut. Ketika penyusutan keinginan kita itu akhirnya sampai pada titik yang mungkin kita dapatkan kembali maka perasaan sedih kita pun dengan sendirinya menghilang dan kita kembali bisa merasakan senang. Contoh, ketika kita ingin mendapatkan seorang istri atau suami, yang kita pilih tentu yang berwajah rupawan, masih perawan atau perjaka, kaya, keturunan bangsawan, terpelajar, berbakti, cermat, cinta keluarga, dan seterusnya. Namun, apabila daîar keinginan kita itu tak terpenuhi, apakah kita akan berduka selama-lamanaya? Ternyata tidak. Kita memang akan bersedih, tetapi tidak akan berlangsung lama karena keinginan kita yang kemudian memendek berkata, âWalaupun syarat pilihanku tidak terpenuhi semua, asal saja wajahnya rupawan, tidak masalah .âŠâ Jika yang cantik atau ganteng tidak kita dapatkan, keinginan kita pun memendek lagi, âWalaupun tidak rupawan, asal saja masih perawan atau perjaka, mungkin oke âŠ.â Apabila ini pun tidak berhasil, keinginan kita pun kembali memendek, âWalaupun sudah janda atau duda, asal saja belum punya anak, ya, tak apalah âŠ.â Jika pilihan ini masih juga gagal, keinginan kita pun akan jadi lebih pendek, âWalaupun banyak anaknya, asal ia tidak cacat, bagiku bukan sebuah persoalan.â Apabila keinginan ini pun tidak juga terpenuhi, keinginan kita pun semakin menyusut dan akhirnya berkompromi dengan MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018196kenyataan, âKasihan, meski cacat, toh dia adalah manusia sepertiku juga, aku bersedia menikahinya.â Padahal jika dalam mencari istri atau suami hanya dengan syarat asal sama-sama manusia, pastilah tidak menyulitkan kita, bukan? Setidaknya waktu kita menikmati indahnya pernikahan akan lebih panjang karena kita tidak perlu menunggu lama untuk memilih sampai harus menjadi perjaka atau perawan tua. Sesungguhnya, rasa senang atau susah kita itu sangat relatif. Biasanya, rasa senang kita disebabkan oleh keinginan yang tercapai, sementara keinginan kita yang tercapai akan selalu memanjang melahirkan keinginan-keinginan baru yang kembali membuat susah dan derita. Dan kesusahan kita itu ternyata juga hanya disebabkan oleh keinginan yang tidak tercapai, sedang keinginan yang tidak tercapai otomatis akan memendek sehingga menjadi mudah digapai dan menimbulkan rasa senang lagi. Karena sifat keinginan yang sesekali memanjang mulur, tak lama kemudian memendek mungkret maka rasa hidup seluruh manusia di dunia ini sejak dahulu kala pasti bersifat demikian. Yakni sebentar senang sebentar susah, sebentar susah sebentar Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesian 1945 yang lalu, ada dua hal yang ada di dalam pikiran mereka, yakni kebebasan dan kemakmuran. Keduanya menjadi mimpi besar, tidak hanya untuk mereka berdua, tetapi juga untuk para bapak bangsa lainnya, seperti Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, dan sebagainya. Dengan kebebasan di tangan, bangsa Indonesia lalu mulai bisa membangun dirinya ke arah keadilan dan kemakmuran bagi semua warganya. Kebebasan dianggap sebagai jembatan emas menuju masyarakat yang paripurna. Latif, 2011.Sebagai pribadi, kita tentu juga ingin bebas. Kita ingin bisa menentukan hidup kita sesuai dengan keinginan kita. Kita juga ingin hidup aman, bebas dari rasa takut dan cemas atas hal-hal di luar diri kita. Keinginan untuk bebas tertanam secara alamiah di dalam jiwa manusia. Penelitian yang dilakukan Institut fÃŒr Gesellschaîs politik di Jerman menunjukkan satu hal, bahwa kebebasan Freiheit merupakan nilai tertinggi di dalam masyarakat Jerman sekarang ini. Reder, 2014 Hidup tak ada artinya, jika tidak ada kebebasan. Seluruh sistem politik dan ekonomi Jerman memang dirancang untuk bisa menampung cita-cita kebebasan semacam ini. Tentu, tidak ada sistem yang sempurna yang tidak lagi membutuhkan reîeksi dianggap berharga, setidaknya karena dua hal. Pertama, kebebasan, seperti pandangan Sukarno dan Hatta, adalah jalan menuju cita-cita yang lebih tinggi, seperti keadilan dan kemakmuran. Selama suatu bangsa 38 Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram, Jakarta Penerbit Noura Books PT Mizan Publika, 2012, hlm. 271-273. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018197masih hidup dalam penjajahan, ia tidak akan bisa merasakan keadilan dan kemakmuran. Selama orang masih hidup dalam penjajahan tradisi ataupun tirani âkata masyarakatâ, ia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan. Kedua, kebebasan juga dianggap sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Kebebasan bukanlah alat untuk mencapai tujuan lain. Sebaliknya, kebebasan adalah tujuan itu sendiri. Pandangan semacam ini mengakar amat dalam di dalam masyarakat Eropa dan AS sekarang ini. Tanpa kebebasan, manusia belumlah sungguh menjalani dari Anthony de Mello di dalam bukunya yang berjudul Awareness, A de Mello Spirituality Conference in His Own Words, kebebasan batin dapat dipahami sebagai kebebasan dari keterkondisian batin, atau kebebasan dari âprogram-programâ batin kita. De Mello, 1990 Sedari kecil, kita diajar bagaimana cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak. Kita menelan semua itu, tanpa sikap kritis, dan kini menjadi bagian dari diri kita. Semua âprogramâ ini lalu menjadi pola hidup kita. Ketika kita mendapat masalah, kita lalu merasa, berpikir dan bertindak sesuai dengan âprogramâ yang kita seseorang akan merasa senang jika menghadapi objek atau stimulus yang menurut konsep yang telah ada adalah baik atau dinilai baik. Jika seseorang senang atau susah hanya jika menghadapi objek tertentu di luar dirinya. Dengan demikian susah atau senang ada hanya jika ada objek di luar diri individu dan tergantung pada konsep baik-buruk yang diterima secara umum. Seneng itu bukan kita mengalami hal baik, kita pun merasa, berpikir dan bertindak sesuai dengan âprogramâ tersebut. Bahkan, pemahaman kita tentang apa itu âmasalahâ dan apa yang merupakan âberkahâ juga ditentukan oleh âprogramâ yang kita terima dari masyarakat kita, dan kita telan mentah-mentah begitu saja. Kita pun melihat dunia tidak dengan apa adanya dunia itu, tetapi dengan âprogramâ yang kita punya. Segala bentuk perasaan, seperti sedih, senang, marah, dan sebagainya, adalah âprogramâ hasil dari bentukan masyarakat kita. Misalnya, ketika seseorang meninggal, kita âdiajarkanâ oleh masyarakat kita untuk sedih. Ketika mendapat bonus dari perusahaan, kita âdiajarkanâ untuk menjadi senang, bahkan mengadakan pesta dengan keluarga dan sahabat. Emosi dan perasaan, serta cara kita memaknai dan menanggapi berbagai peristiwa dalam hidup kita, bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan bentukan dari masyarakat kita. Jadi, ketika kita sedih, bukan karena suatu peristiwa membuat kita sedih, tetapi karena kita âdiajarkanâ untuk sedih, ketika mengalami peristiwa semacam 39 Reza Wattimena, Bahagia, Kenapa Tidak?, hlm. 68. 40 Reza Wattimena, Bahagia, Kenapa Tidak?, hlm. Ryan Sugiarto, dkk, Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia, hlm. 145. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018198itu. Dan sebaliknya, ketika kita senang, bukan karena suatu peristiwa membuat kita senang, tetapi karena kita âdiajarkanâ sejak kecil untuk merasa senang, ketika mengalami peristiwa tersebut. Inilah yang disebut sebagai âprogramâ yang membuat seluruh batin kita tidak bebas untuk memahami dunia apa adanya. De Mello bahkan menyebutnya sebagai proses cuci otak, bahkan hipnosis. Apa yang diajarkan oleh De Mello dan Bordt adalah inti dari kebebasan itu sendiri, yakni kebebasan Rasa SamaPada dasarnya, setiap manusia memiliki keinginan yang sama, yaitu keinginan yang sewaktu-waktu memanjang dan sewaktu-waktu memendek. Kesamaan tersebut dapat digunakan untuk membuat generalisasi bahwa seluruh umat manusia di dunia ini, sejak bayi hingga menjadi tua renta sama-sama bersifat sewaktu-waktu senang dan sewaktu-waktu susah. Dapat dipastikan bahwa hakikat rasa manusia secara universal sesungguhnya sama saja. Orang kaya atau miskin, rakyat atau pejabat, orang suci atau penjahat, rasa hidupnya pasti sama, yaitu sebentar susah dan sebentar senang. Masing-masing dari kita sebagai manusia, sama-sama memiliki rasa senang-susah, lama-cepat, dan berat-ringan, yang berbeda hanya pada faktor yang membuat susah dan itu bergantung dari latar belakang orang tersebut. Misalnya, orang kaya akan merasa senang karena mampu mendirikan pabrik baru, sementara orang miskin akan kegirangan karena medapatkan sebungkus nasi lengkap dengan lauk pauknya di hari itu. Meski tampaknya jauh berbeda, namun hakikat rasa senang atau kesenangan yang dirasakan kedua orang tersebut sama saja. Seorang presiden merasa senang karena dapat terpilih kembali pada pemilu, sedangkan seorang kuli bangunan bergembira karena masih bisa bekerja di proyek yang baru. Keduanya sama di dalam merasakan senang. Orang suci merasa senang bila berbagai nasihatnya diikuti, penjahat merasa senang ketika tidak lagi diuber-uber polisi. Baik orang suci maupun penjahat, keduanya sama di dalam merasakan senang. Akan tetapi, orang miskin sering kali mengira bahwa orang kaya itu tidak pernah susah. Perkiraan yang demikian itu tentu saja keliru sebab dalam diri orang kaya juga berisi banyak keinginan yang bila tercapai masih akan terus memanjang. Misalnya, pengusaha transportasi yang sudah memiliki perusahaan taksi dengan jumlah armada ratusan ribu dengan puluhan pool yang tersebar di berbagai kota. Meskipun perusahaan taksinya sudah berkembang pesat, keinginannya tetap memanjang. Ia ternyata ingin menguasai perusahaan bus kota. Setelah berhasil menguasai perusahaan bus kota, keinginannya pun bertambah panjang. Ia ingin 42 Reza Wattimena, Bahagia, Kenapa Tidak?,hlm. 71. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018199memiliki armada pesawat terbang. Namun sebelum keinginan barunya tercapai, tiba-tiba ada pengusaha transportasi lain yang memiliki reputasi internasional mendirikan perusahaan taksi di dalam negeri, ia pun merasa susah karena khawatir kalau perusahaan taksinya tersaingi dan akan kalah dalam berkompetisi. Artinya, orang sekaya apa pun, rasa hidupnya tentu sebentar senang sebentar susah, sebentar susah sebentar senang, begitu seterusnya. Sebaliknya, orang kaya juga sering salah dalam menghayati rasanya orang miskin. Orang kaya mengira bahwa orang miskin itu selalu menderita dan susah selama-lamanya. Penilaian semacam itu terjadi karena subjektivitas orang kaya yang ketakutan kalau sampai menjadi miskin. Apabila penilaian orang kaya terhadap orang miskin dapat objektif, ia pun dapat memahami bahwa si Miskin juga tidak selamanya susah. Oleh karena itu, orang miskin yang menyangka bahwa orang kaya itu dapat bahagia dan senang selamanya, juga terjadi karena rasa subjektif orang miskin yang berkeinginan untuk menjadi kaya. Jika orang miskin dapat menggunakan objektivitasnya dalam memandang orang kaya, ia dapat dengan mudah memahami bahwa si Kaya juga ternyata tidak senang selamanya. Demikian pula orang suci sering kita kira tidak pernah susah. Perkiraan demikian itu pun sangat keliru karena dalam diri orang sucipun berisikan keinginan. Ketika nasihat-nasihatnya di dengar banyak orang, tentu dirinya menjadi senang. Namun, ketika apa yang dia sampaikan tidak diikuti, tentu sedihlah dia. Misalnya, orang suci memberikan nasihat, âTinggalkanlah keburukan dan berhijrahlah kepada kebaikan.â Karena kita merasa bahwa istri atau suami kita perangainya sangat buruk, lalu kita meninggalkan rumah dan mencari wanita atau pria di luar rumah yang kita anggap lebih baik. Jika orang suci itu tahu bahwa kita berbuat demikian setelah mendengar nasihatnya, tentu akan berganti rasa senangnya. Itu artinya, sebaik apa pun perilaku orang-orang suci, mereka juga akan tetap mengalami sedih dan senang secara bergantian. Jika kita telah memahami sepenuhnya bahwa rasa orang di seluruh dunia sama saja, yakni sebentar senang, sebentar susah maka terbebaslah kita dari neraka iri hati dan Iri Hati dan SombongSecara sederhana, iri hati ialah merasa dikalahkan atau dilebihi oleh orang lain. Adapun sombong menjadi kebalikannya, yaitu merasa dapat mengalahkan atau melebihi orang 43 Grangsang Suryomentaram, Kawruh Jiwa Jilid 1, Jakarta, CV Haji Masagung 1989. hlm. 14-15. Dinukil dari buku Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram, Jakarta Penerbit Noura Books PT Mizan Publika, 2012, hlm. Grangsang Suryomentaram, Kawruh Jiwa Jilid 1, hlm. 15-19. Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram, Jakarta Penerbit Noura Books PT Mizan Publika, 2012, hlm. 276-281. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018200Perasaan iri hati dan sombong inilah yang membuat kita sering kali berusaha secara mati-matian hingga tak tahu batas kemampuan yang kita miliki. Tiga hal yang paling kita prioritaskan demi memenuhi tuntutan kedua perasaan itu adalah kekayaan semat, kedudukan drajat, dan kekuasaan kramat. Ketika kita tengah diperbudak oleh iri hati dan sombong, sadar atau tidak perasaan kita berbisik, âSebaiknya kucari uang sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi kaya melebihi orang itu, dan jangan sampai miskin terus seperti orang ini. Sehingga, aku dapat menghina orang itu dan tidak selalu menerima ejekan seperti ini. Aku juga harus mendapatkan kedudukan yang tinggi supaya lebih mulia dibanding orang itu, dan jangan sampai dihina lagi seperti sekarang ini. Aku juga harus mendapat kekuasaan yang lebih besar, supaya berkuasa dan bisa menaklukkan orang itu. Aku sudah bosan menjadi lemah dan dipecundangi olehnya seperti ini.â Sedemikian berat beban perasaan ini, hingga kita lebih baik mati jika tak mencapai tujuan. Perkataan, âLebih baik aku mati jika tidak dapat mencapai tujuan,â jika sering terlintas dalam pikiran, akan mempercepat kita kehilangan akal sehat. Sehingga kita yang biasanya bersikap rasional dan bahkan sangat religius, dengan mudah bisa tergiur oleh iklan paranormal yang senantiasa tampil glamor dan sering nampang di televisi. Dan kepada dukun yang telah menjerat kita dengan pencitraan itu, kita justru meminta petunjuk, âBagaimana, Mbah, hidup saya ini mengapa selalu dirundung kemalangan. Apakah memang nasib saya harus dibenci orang? Sebaiknya saya harus bagaimana?â Maka, jika dukun itu meminta, âSanggupkah Anda bertapa dengan ditanam di tanah selama empat puluh hari? Memang berat melaksanakan tapa ini, tetapi bila dijalani, tentu nasibmu akan menjadi lebih baik.â Tentu saja pikiran kita semakin gelap. Akan tetapi, karena telah menjadi budak si Iri Hati dan si Sombong, kita pun menyanggupi, âBaik, Mbah. Saya bersedia ditanam asal benar-benar bisa mendapat anugerah. Toh andai pun saya gagal dan mati, hal itu tetap lebih baik daripada hidup, tetapi menjadi buah hinaan para tetangga seperti sekarang ini.â Begitu disiapkan lubang atau kubangan, tiba-tiba nyali kita menciut, âMbah, jika penguburan ditangguhkan dulu sampai saya benarbenar siap, apakah boleh?â Jika kita memahami bahwa hakikat rasa orang di seluruh dunia itu sama, pandangan kita menjadi terang. Kita pun kembali dapat bersikap rasional bahwa orang yang ditanam selama empat puluh hari, pasti akan mati karena tidak dapat bernapas. Orang yang dibekap kurang dari sepuluh menit saja sudah kehabisan napas, apalagi harus ditanam di dalam tanah selama empat puluh hari tanpa sirkulasi udara. Hal yang paling diidamankan oleh orang yang iri hati dan sombong adalah asal dapat mengungguli orang lain dalam segala hal. Dalam hal makanan, pakaian, MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018201tempat tinggal, keluarga, anakanak, dan sebagainya, ia selalu ingin melebihi siapa saja. Sementara, orang lain pun sama-sama ingin menyaingi atau melebihi orang selain dirinya. Oleh sebab itu, ketika berjuta-juta manusia telah diperbudak oleh perasaan iri hati dan sombong, tindakan antara satu sama lain akan saling unggul mengungguli hingga semua akan jatuh ke bawah. Bila dalam usaha untuk melampaui orang lain ia tergelincir, sehingga dapat dilampaui orang lain maka hatinya menjadi kesal, âBaik, meskipun aku kalah, tetapi tetanggaku itu hidupnya merana. Itu sudah cukup membuatku senang.â Padahal, sikap tetangganya juga berpikir demikian, yakni berusaha menyusahkan orang lain. Maka, berjuta-juta manusia yang sama sama terserang virus iri hati dan sombong tadi, selalu bertindak hanya untuk saling menyusahkan satu sama lain. Pandangan orang yang iri hati dan sombong terhadap segala sesuatu dan peristiwa juga sering terbolak-balik. Misalnya, ketika ingin memiliki mobil karena keinginannya sangat menggebu sampaisampai ia merasa, âJika aku tidak sanggup memiliki mobil pribadi, alangkah menderitanya batinku. Kalau barang-barang yang lain, aku tidak begitu peduli.â Maka, jika ia menjumpai seseorang yang mengendarai mobil, apalagi pengendara mobil itu adalah tetangga yang dibenci dan hendak dilebihinya maka begitu mendengar bunyi klaksonnya saja, ia sangat kesal, seakan-akan jantungnya copot. Begitu pulang ke rumah, semalam suntuk, ia tak bisa tidur karena memikirkan tetangganya yang berhasil memiliki mobil lebih dulu, âKalau hanya mobil kredit, dari dulu aku juga sudah punya, dasar tak punya malu!â Demikian kira-kira pandangan orang yang iri hati. Keadaan itu selalu terjadi terbolak-balik hanya disebabkan oleh rasa iri hati dan sombong. Bila dipahami, apakah benar tetangganya itu ketika membunyikan klakson adalah sengaja pamer kepadanya? Apakah benar, hal itu dilakukan agar ia gelisah sepanjang malam karena merasa telah dikalahkan? Lalu dari mana pula ia tahu bahwa tetangganya membeli mobil dengan cara kredit? Dampak dari pandangan terbolak-balik yang disebabkan rasa iri hati dan sombong itu memang sangat dahsyat. Hingga tak jarang hal itu dapat membuat orang membenci suami atau istrinya di rumah hanya lantaran sempat berpapasan dengan pria tampan atau wanita cantik di jalan. Korban yang sangat memprihatinkan dari rasa iri dan sombong ini adalah ketika ia sampai menggerutu sendiri, âSetelah kupikir-pikir, suami atau istriku ini memang kelewatan. Sudah jelek wajahnya, buruk pula hatinya. Kalau sekarang bisa berjodoh denganku, dulunya pasti memakai guna-guna sehingga aku sampai terpikat kepadanya.â Padahal pria tampan atau wanita cantik yang berpapasan dengannya di jalan tersebut, tentu tak punya maksud agar ia membenci suami atau istrinya. Rasa iri hati dan sombong juga dapat membuat pandangan seseorang menjadi gelap. Tak peduli sudah punya anak dan cucu, ia tetap saja tidak dapat MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018202menikmati rasa bersuami-istri yang membahagiakan. Karena, setiap kali menjum-pai suami atau istrinya sendiri, yang dirasakannya justru suami atau istri orang lain, âSi Anu itu hidupnya sungguh bahagia karena mempunyai suami atau istri yang menyenangkan, perhatian, setia, dan pintar. Berbeda sekali dengan diriku yang merana ini, mempunyai suami atau istri yang sangat galak, gampang marah, dan tidak romantis.âHanya orang-orang yang sudah terlepas dari siksa neraka iri hati dan sombong yang dapat memasuki surga ketenteraman. Di dalam surga ketenteraman itu ia baru dapat menasihati dirinya sendiri, âO, bagaimana ini? Berumah tangga kok ribut terus. Bukankah landasan yang benar dalam membina setiap hubungan, apalagi pernikahan, adalah saling membahagiakan pendamping hidup?â Kebanyakan pasangan suami istri memang telah keliru dalam memberikan landasan terhadap hubungan mereka. Pihak yang bermaksud menikahi beranggapan, âKalau dia menjadi istri atau suamiku, pasti akan senang hidupnya.â Anggapan demikian itu sebenarnya tidak memerhatikan rasa calon pendamping hidup. Apakah dia memang bahagia saat berjodoh dengannya? Hal itu sungguh tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Karena sesungguhnya yang ia kejar adalah kenikmatannya sendiri. Begitu pun dengan calon yang hendak dinikahi. Ketika bersedia menikah dengannya juga memendam maksud mencari kenikmatan diri sendiri, âAku bersedia menikah dengannya supaya hidupku nanti bisa begini.â Berbagai perselisihan yang timbul di dunia ini memang selalu disebabkan penghayatan rasa yang dibolak-balik sendiri. Hal itu berlangsung pada rasa diri sendiri maupun rasa orang lain. Bahkan, semakin rapat sebuah hubungan, semakin tajam pula muncul perselisihan. Relasi intim suami-istri adalah contoh yang paling nyata. Ketika masing-masing pihak tertutupi oleh kepentingan sendiri-sendiri dalam menjalin hubungan maka perceraian atau perpisahan, bahkan permusuhan hanya soal menunggu waktu saja. Apalagi jika rasa iri hati dan sombong turut campur. Ditambah dengan pemahaman yang gelap bahwa hakikat rasa hidup adalah sebentar senang sebentar susah, lengkap sudah penderitaan kita. Sebelum masing-masing pihak yang menjalin hubungan terbebas dari rasa iri hati dan sombong, ia tidak akan pernah bisa memahami bahwa dalam relasi sedekat apa pun, rasanya tentu juga sebentar nikmat sebentar tidak nikmat. Berbeda dengan orang yang sudah berada di dalam surga ketenteraman. Ia terbebas dari segala kewajiban yang memang seharusnya tidak menjadi beban. Artinya, seseorang tidak akan pernah melaksanakan segala sesuatu dalam keterpaksaan. Kebiasaan orang-orang yang mewajibkan bermacam-macam hal yang bersumber dari anggapan-anggapan, katanya-katanya, pantasnya-pantasnya, dan duga-duga kepada diri sendiri adalah orang yang masih duduk di neraka. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018203Orang yang demikian biasanya berpandangan, âOrang hidup itu harus begini, untuk itu saya harus begini, pakaian harus begini, rumah harus begini, hubungan suamiistri harus begini, mendidik anak harus begini, anak-anak juga harus begini, terhadap pembantu harus begini, terhadap tetangga harus begini, dan begitu seterusnya.â Bagi yang telah menduduki ketenteraman surga, hal itu tidak berlaku lagi baginya. Sekali lagi, apabila kita memahami dengan jujur, bahwa hakikat rasa manusia di seluruh dunia sama saja maka kita terbebas dari penderitaan neraka iri hati dan sombong kemudian dengan mudah dapat memasuki surga ketenteraman. Di dalam surga ketenteraman, kita tidak lagi diperbudak oleh apa dan siapa pun termasuk oleh rasa-rasa kita sendiri. Sehingga kita dapat dengan leluasa bertindak apa saja semau kita tanpa menjadi beban dan tidak membebani sesama. Karena batas hak kebebasan kita untuk melakukan segala tindakan di dalam surga ketenteraman, adalah dengan mengakui dan menjunjung tinggi hak kebebasan orang lain. Dalam surga ketenteraman inilah kita dapat merasakan hakikat rasa hidup yang sebenar-benarnya, yakni sebentar senang sebentar susah, sebentar susah sebentar Imunitas ManusiaSebagaimana telah kita pahami bersama bahwa sifat keinginan yang ada pada diri kita sebentar memanjang dan sebentar memendek, sedangkan rasa yang ditimbulkan adalah sebentar senang dan sebentar susah. Sejak zaman dahulu, sekarang, dan sampai kapan pun pada dasarnya sifat dan rasa yang ditimbulkan keinginan kita selalu ajeg konstan, yakni sebentar memanjang dan sebentar memendek; menimbulkan rasa sebentar senang dan sebentar Dengan demikian, keinginan karep kita itu dapat kita anggap serupa atau mirip Barang Asal. Ya, ketika kita masih berada dalam kandungan ibu, keinginan kita sesungguhnya sudah ada, walaupun kini kita tak dapat lagi mengingat. Nanti setelah kita mati, raga kita membusuk, bisa jadi keinginan kita akan tetap ada. Setidaknya dalam bayangan kita saat ini, kalau kita mati kelak ingin berada di dalam Surga yang kekal penuh kenikmatan dan tidak pernah mengalami kesedihan, misalnya. Sebagai sesuatu yang mirip kuasi Barang Asal, dalam kehidupan nyata yang kita alami sekarang ini, keinginan benar-benar telah menunjukkan kedigdayaannya. Meskipun ia dihancurkan melalui kesusahan, penderitaan, rasa malu, dan lain sebagainya, sifat keinginan tetap tidak berubah. Begitu pun saat ia 45 Grangsang Suryomentaram, Kawruh Jiwa Jilid 1, hlm. 22-27. Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram, Jakarta Penerbit Noura Books PT Mizan Publika, 2012, hlm. 281-285. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018204berusaha disuap dengan berbagai kesuksesan pencapaian dan beragam prestasi, keinginan tetap bergeming. Keinginan selalu saja sebentar memanjang mulur, sebentar memendek mungkret. Akan tetapi, bagi yang memahami hakikat keinginan, akhirnya menjadi imun terhadap rasa yang menyertai. Ketika rasa kita telah memiliki kekebalan terhadap memanjang dan memendeknya keinginan secara konstan, selesai sudah perjalanan hidup kita sebelum ajal tiba. Artinya kita telah resmi mendapat sertiîkat atau tanda kelulusan dalam perjalanan mengarungi ombak samudra hidup. Manusia yang belum mendapatkan sertiîkat hidup, akan selalu dihantui berbagai penyesalan atau kesedihan dan senantiasa dibayang-bayangi oleh ketakutan dan kekhawatiran. Secara sederhana dapat deînisikan, bahwa sesal dan sedih adalah penderitaan yang telah terjadi, sedangkan khawatir adalah rasa takut menderita terhadap kejadian yang belum dialami. Menyesal dan khawatir inilah yang menyebabkan orang bersedih hati, prihatin, sengsara, hingga merasa celaka, gagal, menderita, dan tidak prospektif. Ungkapan, âKalau saja dulu aku memilih yang itu, tentu aku sangat bahagia dan tidak menderita seperti ini,â adalah ekspresi penyesalan seseorang yang takut akan pengalaman masa lampau yang menyebabkannya jatuh celaka, menjadi susah, miskin, terhina, dan merasa tak berdaya. Apabila orang memahami dan menyadari bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki kekebalan atas segala rasa, ia pun menasihati dirinya sendiri, âAndaikan jarum waktu dapat diputar kembali, bagaimana pun keadaanku dahulu, pasti rasanya juga akan sebentar senang sebentar susah seperti ini.â Jika demikian kesadaran yang muncul, seluruh penyesalan tentang masa lalu akan lenyap dengan mudah. Akan tetapi, jika ia tidak kunjung memahami adanya imunitas di dalam dirinya, penyesalan akan terus berlangsung, berlarut-larut hingga ketakutannya menjadi kian tak terkendali. Seperti takut terkutuk dan takut durhaka, hingga ekspresi penyesalannya menjadi, âSeandainya dahulu aku tidak terkutuk oleh si Anu, atau tidak durhaka pada si Ano, tentu aku sudah bahagia dan tidak celaka seperti sekarang ini.â Namun, jika ia paham bahwa dirinya kebal, ia pun dapat menyadari, âWalaupun dulu saya terkutuk atau tidak, durhaka atau tidak, tetap saja rasanya sebentar senang sebentar susah.â Jika hal itu disadari pasti seluruh penyesalan akan lenyap. Begitu pun kekhawatiran atau ketakutan terhadap pengalaman yang belum dialami. Hal itu hanya akan membuahkan kegelisahan dan penderitaan. Dirinya selalu cemas jika di kemudian hari akan celaka, susah selamanya, terperosok di lembah kemiskinan, menjadi terhina, tak berdaya, tidak bahagia, dan lain sebagainya. Setelah orang memahami bahwa dirinya memiliki imunitas, ia pun menasihati dirinya, âWalaupun kelak akan terjadi apa saja seperti bumi dan MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018205langit akan merapat, rasanya pasti sebentar senang sebentar susah.â Lalu, sirnalah seluruh kekhawatirannya. Jika ia tak juga memahami, kecemasan akan semakin berlarut-larut sehingga takut akan hal yang aneh-aneh seperti takut terkutuk, takut durhaka, takut tidak bahagia dan sebagainya. Padahal apa yang disebut sebagai terkutuk maupun durhaka tersebut tidak pernah sungguh-sungguh ia pahami. Sungguh aneh. Namun, apabila ia memahami bahwa manusia memiliki imunitas, ia segera menyadarkan dirinya, âMana ada orang terkutuk atau durhaka? Kalau toh ada, rasanya pasti hanya sebentar senang sebentar susah.â Jika kekhawatiran itu dibiarkan berlarut-larut, ia akan takut kepada hal-hal yang semakin aneh seperti mati tersesat. Masa orang mati bisa tersesat? Akan tetapi, bila mengerti bahwa manusia itu memiliki imunitas, dapatlah ia menasihati dirinya, âBagaimana mungkin orang mati dapat tersesat? Kalau tersesat tentu kembali hidup seperti yang kita alami sekarang ini. Lagi pula jika ada mati tersesat, berarti ada pula hidup tersesat? Apakah ketika hendak hidup dahulu kita sempat bertanya nanti aku harus bagaimana? Bukankah saat kita lahir tidak berbekal apa-apa? Bukankah kita menjelma sebagai manusia begitu saja? Hidung sebagai sarana penciuman tepat di atas mulut, telinga yang berfungsi untuk mendengar tepat di kedua sisi kepala; kepala kita di atas, kaki di bawah, perut di depan, begitu seterusnya. Semua itu tiba dan menyertai kita begitu saja, bukan?â Menyesal dan khawatir itu sesungguhnya didasari oleh satu anggapan bahwa manusia itu dapat senang atau susah selama-lamanya. Apabila demikian logika kita maka dengan mati-matian rasa senang dikejar, dan dengan mati-matian pula rasa susah ditolak atau dihindari. Kita tak sadar, hal itu menimbulkan ketakhayulan dalam diri. Takhayul ialah menghubung-hubungkan sebab dan akibat yang sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali. Sebagai contoh, orang yang sedang sial saat berdagang lalu berucap, âKesialan ini tentu lantaran aku tidak membakar kemenyan dan tidak sembahyang malam Jumat kemarin, sehingga daganganku tidak laku.â Jelas, membakar kemenyan dan bersembahyang itu tidak ada sangkut paut dengan kesialan seseorang dalam berdagang. Akan tetapi, karena kita dijejali pikiran takhayul Maka kita pun mencoba mencari-cari hubungannya. Contoh lain yang lebih jelas, seorang anak tengah bermain, tibatiba sakit kejang-kejang, kemudian orangtuanya berkata, âAnak itu pasti dijegal oleh jin penunggu jalan perempatan hingga badannya kejang-kejang.â Padahal jelas, anak sakit kejang tidak bersangkutpaut dengan jin penunggu jalan. Karena untuk menjelaskan apakah jin itu berkaki dua atau berkaki empat, bertelur atau menyusui, juga tak ada seorang pun yang tahu. Namun, tetap saja ada yang percaya bahwa ada jin yang iseng menjegal anak kecil yang sedang bermain-main di jalanan. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018206Ketakhayulan semacam itu menyebabkan orang melakukan ritual dan berpantang yang aneh-aneh. Seperti merendam diri selama satu jam dalam tempo empat puluh hari, dengan asumsi bahwa jika setiap malam merendam diri sambil mengucapkan mantra-mantra tertentu, dalam waktu empat puluh hari pasti memperoleh karunia kebahagiaan untuk selama-lamanya. Jika ia memahami bahwa sebagai manusia ia telah memiliki imunitas, pandangannya menjadi jernih. Ia akan tahu bahwa hasil dari orang merendam diri selama itu hanyalah menggigil kedinginan dalam kesepian. Bahkan istri atau suami yang ditinggalkan di rumah pun ikut merasa sepi dan kedinginan bahkan tidak dapat tidur karena menanti-nanti. Ditambah dengan tindakannya berpantang yang aneh-aneh seperti pantang makan dan pantang tidur, semakin kacaulah jalan pikirannya. Bukankah nikmatnya orang lapar adalah ketika makan, dan bahagianya orang mengantuk adalah saat tidur pulas. Aneh, bukan? Orang itu memantang hal-hal yang nikmat dan membahagiakan, namun selalu mengeluh bahwa tidak pernah merasakan kenikmatan serta kebahagiaan dalam aneh-aneh itu kalau diteruskan, akan berlarut-larut hingga berpantang berdekatan dengan suami atau istri sendiri. Bahagiakah rasa yang berpantang maupun yang dipantang? Pastilah tidak. Oleh karena itu, ketika baru berpantang berjalan seminggu, misalnya, jika tak diawasi diam-diam sudah saling menyerobot. Sekali lagi, jika orang memahami bahwa manusia itu memiliki imunitas dalam dirinya, pandangan menjadi jernih. Ia pun memahami bahwa hasil berpantang untuk berhubungan seksual dengan istri atau suami sendiri adalah tidak nyaman. Demikian sifat katakhayulan yang mendorong orang melakukan ritual dan berpantang macam-macam, hanya karena memiliki anggapan akan adanya kesenangan atau kesusahan Penemuan Teori Kawruh JiwaKawruh jiwa Suryomentaram merupakan serangkaian ajaran yang berupa wejangan yang terkait dengan sisi-sisi kehidupan. Wejangan tersebut berisi ajaran-ajaran mengenai realitas kehidupan yang sebaiknya disadari oleh manusia. Rasa senang dan susah tidak ada yang kekal. Karena itu, manusia perlu mempunyai sisi îeksibelitas yang dalam ajaran Suryomentaram disebut dengan kemampuan mulur mangkret Hartono, 2010.Kawruh jiwa Suryomentaram merupakan hasil penyelidikan alam kejiwaan yang dilakukan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Hasil penyelidikan tersebut kemudian tertuang ke dalam pemikiran-pemikiran yang sering disebut dengan kawruh jiwa. Ajaran tersebut tersebar berkat temen-temen Ki Ageng Suryomentaram MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018207yang sering diajak berdiskusi yang menyebarkannya kepada orang lain maupun lewet penerbitan buku atas pemikiran-pemikiran mengungkapkan bahwa kawruh jiwa merupakan pengetahuan tentang jiwa. Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa merupakan bagian dari manusia yang tidak terlihat, sementara raga merupakan bagian yang bias terlihat. Meskipun jiwa tak terlihat, tetapi keberadaanya dapat dirasakan. Orang dapat merasakan sakit, sedih, dan seterusnya. Sarwiyono 2008 menjelaskan bahwa menurut Suryomentaram, rasa dalam jiwa manusia adalah benih ilmu pengetahuan. Rasa itulah yang mendorong seseorang bertindak. Rasa lapar mendorong seseorang untuk makan, rasa haus mendorong manusia untuk minum dan seterusnya. Mempelajari rasa adalah mempelajari tentang orang, sedangkan diri sendiri adalah orang. Jadi belajar tentang rasa, dapat dikatakan mempelajari tentang diri 2003 menjelaskan bahwa rasa merupakan struktur dasar manusia yang dijelaskan dalam dua dimensi, yaitu dimensi kelengkapan dan dimensi kesempurnaan. Dimensi kelengkapan rasa sebagai alat berupa kualitas fungsi rasa yang meliputi fungsi îsik, emosi, kognisi, dan intuisi. Dimensi kesempurnaan rasa sebagai kemampuan merupakan tingkat kualitas kesadaran manusia. Konsep rasa bila dibandingkan dengan pandanagn Freud, maka makna rasa sejalan dengan insting dalam konsep psikonalisis Freud. Rasa dalam jiwa manusia adalah benih ilmu pengetahuan. Rasa itulah yang mendorong seseorang bertindak. Rasa lapar mendorong seseorang untuk makan dan rasa haus mendorong seseorang untuk minum. Sedang insting dideînisikan sebagai perwujudan psikologis dari suatu sumber rangsangan semiotik yang di bawa sejak lahir. Perwujudan psikologisnya disebut hasrat sedangkan rangsangan jasmaniah hasrat disebut kebutuhan. Jadi, keadaan lapar dapat digambarkan secara fsikologis sebagai keadaan kekurangan makanan pada jaringan-jaringan tubuh, sedang secara psikologis diwujudkan dalam bentuk hasrat akan makan. Hasrat itu berfungsi sebagai kebutuhan yang didorong tingkah laku. Orang yang lapar mencari makanan. Karena itulah insting dilihat sebagai faktor pendorong kepribadian. Insting tidak hanya mendorong tingkah laku, tetapi juga menentukan arah yang akan ditempuh tingkah laku Hall & Lindzey, 1993.46Konsep kawruh jiwa Suryomentaram dijelaskan oleh Fudyartanto, 2003 mengacu pada segala gerak dalam batin yang meliputi perasaan-perasaan, gagasan-gagasan, dan keinginan sehingga rasa hidup akan mendorong manusia untuk bergerak. Rasa mendorong orang berbuat apa Ryan Sugiarto, dkk, Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia, hlm. 175-176. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018208Jatman, 2008 menyatakan bahwa rasa dalam kawruh jiwa lebih dari sekedar perasaan, emosi, suasana hati, atau sensasi. Manusia Jawa memaknai rasa sebagai pengecap, perasaan, karakter manusia dan pernyataan dari hati nurani. Suryomentaram membedakan rasa secara kualitatif sebagai rasa kramadangsa dan rasa manusia tanpa ciri. Rasa kramadangsa sebagai rasa yang dangkal dilekati oleh sifat egoistik. Rasa manusia tanpa ciri sebagai rasa yang mendalam merupakan kesadaran yang lebih luas. Rasa yang mendalam menghadirkan kesadaran bahwa rasa manusia sama saja, bahwa hidup adalah sekarang dan ada di sini, perubahan rasa senang dan susah selalu Kawruh Jiwa dalam Tasawuf Qurani JawiKonteks pandangan hidup Ki Ageng Suryomentaram ajining diri prestise adalah berdasarkan faktor prestasi usaha kasab, bukan keturunan darah nasab sebagaimana dalam kultur feudalisme. Inilah hal fundamental yang menjadi ciri masyarakat demokratis, sebagaimana dalam teori mobilitas sosial yang memandang prestasi individu untuk mobilitas vertikal dengan variabel di antaranya pendidikan ilmu dan prestasi sosial yang lain. Dari sini tampak jelas bahwa raos sami merupakan karakter spesiîk bentuk implementasi demokratisasi dan inklusivisme Kawruh Jiwa Suryomentaram. Sejalan dengan Firman Allah SWT dalam Ar-Raâdu 11.ï¹ï·ï¹ïœïï¿ ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain binti Ismaâil al-Adawiyah, julukannya Ummu al-Khair, al-Bashriyah. Seorang muslimah kelahiran Bashrah Irak, yang dikenal shalihah, zahidah, dan sangat tekun dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT. Ia masyhur karena îlosoî âmahabbahâ atau âcintaânya dalam beribadah. Salah satu doâa munajat âcintaânya yang terkenal adalah sebagai berikut Artinya âWahai Tuhanku, jikalau aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka jerumuskanlah aku ke dalamnya, dan jikalau aku beribadah kepada-Mu karena mengharap syurga-Mu, maka halangilah aku darinya, akan tetapi jikalau MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018209aku beribadah kepada-Mu karena cinta dan mengharap ridha-Mu, maka jangan Kau halangi aku untuk melihat Wajah-Mu.47Sayid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâlil Qurâan menyebutkan Allah selalu mengikuti mereka dengan memerintahkan malaikat-malaikat penjaga untuk mengawasi apa saja yang dilakukan manusia untuk mengubah diri dan keadaan mereka, yang nantinya Allah akan mengubah kondisi mereka itu. Sebab Allah tidak akan mengubah nikmat atau bencana, kemuliaan atau kerendahan, kedudukan atau kehinaan, kecuali kalau mereka itu mau mengubah perasaan, perbuatan dan kenyataan hidup mereka. Maka Allah akan merubah keadaan diri mereka sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam diri dan perbuatan mereka sendiri. Meskipun Allah mengetahui apa yang bakal terjadi dari mereka sebelum hal itu terwujud, tetapi apa yang terjadi atas diri mereka itu adalah sebagai akibat dari apa yang timbul dari mereka. Jadi, akibat itu datangnya belakangan waktunya sejalan dengan perubahan yang terjadi pada diri Perbedaannya, kalau dalam lingkungan sosio-kultural Ki Ageng Suryomentaram, kraton sebagai institusi pemberi gelar kebangsawanan berdasarkan hubungan darah strukturalisme sosial genetik dengan raja, maka pada konteks kontemporer hal itu beralih pada institusi pendidikan yang memberikan gelar kesarjanaan tersebut kapada yang bisa dan mau membayar. Akibatnya kesarjanaan bukan lagi prestasi yang butuh ketekunan dan perjuanganstrukturalisme sosial dinamika, tapi sudah menjadi prestise yang cukup hanya dibeli saja seperti komoditi barang dagangan strukturalisme sosial ekonomik. Inilah yang dinamakan hidup slamuran oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai bentuk mental tidak sehat yang parah dalam kehi-dupan sosial. Hal ini sejalan dengan îrman Allah SWT dalam Al-Qashâsh 831 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyom-bongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang konteks Islam, konîik shiqâq dan keraguan shakk merupakan hal yang sebisa mungkin dihindari seseorang karena dapat menghilangkan saââdah kebahagiaan, sakînah ketenangan dan tumanînah ketentraman sebagai syarat kebahagian dalam hidup dan memperkuat kepribadian. Shiqâq konîik mengakibatkan keretakan integritas diri, dan shakk mengakibatkan ambiguitas 47 Shalahuddin Khalil bin Abik as-Shafadi, al-Waî bi al-waîyat, , juz 4, hal. 435, lihat pula al-Aâlam, Khairuddin az-Zarkali, juz 3, hal. 10, serta Qadhiyyah at-tasawwuf, hlm. 42. Dinukil dari Sayid Quthb, Tafsir Fî Zhilâlil Qurâan, Jakarta Gema Insani, 2000, Jilid 7, hlm. 38 MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018210dan ambivalensi daalam berwawasan, bersikap dan bertindak. Pengalaman konîik batin psikologis, internal seperti itu secara fenomenologis bisa terjadi dalam kehidupan setiap individu kapan saja dan di mana saja, dan Ki Ageng Suryomentaram telah melewatinya dengan selamat dan itulah arti bahagia beja yang ia dari telah teori spiritualisasi tasawuf Islam, secara epistemologis shakk skeptis merupakan pintu pembatas dari dua hal yang kontradiktif, pada satu sisi secara positif sebagai stimulus kepada yaqîn. Sedangkan yaqîn itu sendiri merupakan wujud stabilitas jiwa yang merupakan salah satu wujud tampilan kesalahan mental, dan merupakan kebutuhan kejiwaan. Ini tampak relevan dengan sabda Nabi âtinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu menuju kepada yang tidak meragukan kamuâ. at-TurmuziDari segi keimanan, syakk skeptif potensial menjadi pintu gerbang kepada kufr yang dapat membawa kesengsaraan abadi. Dari telah tentang struktur jiwa menurut al-Gazali, shakk menggambarkan nafs lawwâmah yakni masih menjadi tarik menarik antara nilai-nilai positif dengan negatif. Keyakinan merupakan sumber kekuatan hebat bagi jiwa untuk mampu melahirkan banyak kreasi dan perubahan besar dalam sejarah peradaban manusia, meskipun terkadang keyakinan tersebut kemudian terbukti salah. Keyakinan tatag, gambaran madeg pribadi juga merupakan gambaran jiwa yang telah mencapai posisi mutmainnah dalam nilai-nilai positif kebaikan dengan terbebas dari hal-hal yang rendah. Dari uraian tersebut tampak gambaran pencapaian kualitas jiwa âmutmainnahâ pada diri Ki Ageng ungkapan Ibnu Athaâillah al-Iskandari, Ki Ageng bisa termasuk kategori Ahwâl Tajrîd karena segala keinginannya untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah memberikan kedudukan di tempat yang Metodologi Kawruh Jiwa dalam Tasawuf Qurani JawiMenurut Ki Ageng Suryomentaram, struktur fundamental esensi jiwa terdiri dari dua unsur dasar yaitu raos utawi kraos gesang rasa atau merasa hidup dan pangertosan pengertian. Dalam pandangannya, Ki Ageng Suryomentaram menyatakan bahwa semua aktivitas manusia dalam kehidupannya berujung pada keberasalan dan kebertujuan untuk bisa memenuhi dua hal yang esensial-fundamental tersebut. Ketika dikaitkan, bahwa teori raos utawi kraos gesang dan pangertosan lebih 49 Abdullah Asy-Syarkawi, Asyarh Al-Hikam Ibnu Athaâillah al-Iskandari, Jakarta Turos, 2017, hlm. 5. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018211dekat pemaknaannya dengan îkr dan zikr50. Sebagaimana tertuang dalam al-Qurâan 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï©ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï . âSesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan apa yang ditetapkannyaâ.Keinginan manusia untuk mencari makna hidup bisa saja dihambat dalam logoterapi hambatan seperti ini dinamai âfrustrasi eksistensialâ. Kata eksistensial dalam hal ini memiliki tiga arti, yaitu 1 keberadaan manusia itu sendiri, atau, cara khusus manusia dalami menjalani hidupnya; 2 makna bidup; dan 3 perjuangan manusia untuk menemukaii makna yang konkrit di dalam hidupnya, dengan kata lain, keinginan seseorang untuk mencari makna eksistensial bisa memicu neurosis. Logoterapi memiliki istilah khusus untuk menamam penyakit neurosis yang disebabkan oleh frustrasi eksistensial, yaitu ânoögenic neurosesâ neurosis noogenik untuk membedakannya dari neurosis yang dikena! selama ini, yaitupsychogenic neuroses neurosis psikogenik. Neurosis noogenik tidak diakibatkan oleb dimensi kehidupan manusia yang bersifat psikologis, melainkan dimensi ânoologisâ dan kata Yuimani noos, yang berarti pikiran dalam eksistensi atau keberadaan manusia. Neurosis noogenik adalah istilah logoterapi untuk menggaris bawahi sesuatu yang secara khusus terkait dengan dimensi humanis atau manusiawi seorang noogenik tidak muncul akibat konîik antara dorongan dan naluri manusia, tetapi muncul karena masalah-masalah kehidupan. Salah satunya dan yang perannya cukup besar, adalab terganggunya keinginan manusia untuk mencari makna bahwa di dalam kasus-kasus neurosis noogcnik, metode terapi yang tepat dan memadai bukan metode psikoterapi yang umum, melainkan logoterapi; artinya, terapi yang berani menyentuh dimensi menolak tegas, bahwa upaya sesorang untuk mencari makna hidup, bahkan keraguan seseorang terhadap makana hidupnya dianggap penyakit. Frustasi eksistensial bukan penyakit. Frankl memberi contoh seorang pilot tinggi AS yang mengalami itu dan awalnya didiagnosa oleh Suryomentaram menilai esensi kawruh jiwa adalah deskripsi tentatif hakekat dan dinamika rasa setiap manusia. Ia merupakan hasil perenungan 50 Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 24751 Contoh-contoh Frankl selalu mengarah kekelompok elit. Mapan secara materi, punya rasional cukup terpelajar, ilmuwan dan seterusnya. âsekanâ pancarian makna itu adalah kelompok âgolongan 5â dalam khirarki Maslow. Atau karena meraka itulah yang dapat diajak diskusi menganai pencarian-makna. Bila tekanannya karena tak-bisa menyekolahkan anak, ditekan oleh orang tua, istri, suami dan seterusnya, sulit dengan logoterapi. Ini terapi kelompok âgolongan ke-5â menurut Muhammad Alwi. Di nukil dari MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018212fenomenologis, pemikiran spekulatif yang terus menerus, observasi dan reîeksi intuitif yang jernih, mendalam serta pengalaman hidup pribadi Suryomentaram serta lingkungan sosial yang di amati, dalam upaya mengenal jiwa manusia secara âotentikâ dan komprehensif. Oleh karena itu ia menjelaskan betapa penting dan rumitnya mempelajari jiwa manusia. Diantaranya adalahPertama, Djiwa punika mboten kawon penting tinimbang raga, sarehne kawontenanipun mboten kasatmata pramila langkung angle dipun sumerep. Jiwa itu tidak kalah penting dari pada raga. Karena keadaannya yang tidak tampak oleh mata, maka ia sulit untuk diamati. Esensi jiwa menurut Suryomentaram adalah raos rasa atau kraos merasakan dan pangertos pengertian, insight, sebagaimana dijelaskan52 Dalam Al-Mulk 21 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïï¥ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï·ï¹ï ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ï¥ï€ïŽï·ï ï€ï ï³ïïŽïï³ï¿ ïï» ï¬ïœï¹ïº ï ï»ïµïï±ïï¹ï€ï£ ï ï ïï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ï¬ïïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ï¹ï€ï£ ïï¹ï€ ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak Quthb dalam tafsir Fî Zhilâlil Qurâan menegaskan langit adalah makhluk yang tetap di depan mata yang jahil yang pandangannya tidak sampai melampaui tangan yang menciptakannya dan tidak menengok kesempurnaannya. Namun ayat ini membangkitkan serta menggerakan pikiran dan renungan terhadap keindahan dan kesempurnaan ini beserta gerakan dan tujuan yang ada di balik semua Pirantosing manungsa punika raga ingkang kanthi pantja indera lan djiwa. Djiwa punika wudjudipun raos kraos gesang lan pangertos. Kraso gesang punika kadosta kraos aku, kraos ana, kraos bungah, kraos susah, karep lan sapanunggalanipun. Pangertospunika putusan kangge netepaken prakawis ingkang saking pabtja indera lan kraosipun. Piranti manusia itu raga dengan panca inderanya dan jiwa. Dan jiwa itu wujudnya rasa hidup dan pengertian kognisi, intuisi. Rasa hidup itu seperti rasa aku, rasa ada, rasa senang, rasa susah, keinginan dan sebagainya. Pengertian identik akal adalah untuk menetapkan hal-hal yang terkait dengan panca indera dan rasa. Dengan metode îlsafat, Suryomentaram mengidentiîkasi esensi hakekat manusia dari dua sifat dasar alam benda di dunia. Dalam Yûsuf Suryomentaram, Ilmu Djiwa, hlm. 1. Dinukil dari buku Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Kawruh Jiwa Suryomentaram, hlm. Sayid Quthb, Tafsir Fî Zhilâlil Qurâan, Jilid 11, hlm. 350 MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 20182131 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï²ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Quthb dalam tafsir Fî Zhilâlil Qurâan menyampaikan sebuah kisah yang tampak jelas unsur kemanusiaan bukan hanya unsur sastranya saja, melainkan untuk dijadikan pelajaran dan nasihat. Ungkapan-ungkapan indahnya melukiskan denyut dan debaran perasaan dengan gambaran yang indah, halus, dan lembut, dalam realitas yang utuh yang memuat semua hal yang mempengaruhinya dan semua peristiwa di dalam jiwa, di bawah bayang-bayang dan pengaruh ditelaah dengan seksama terhadap Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram, dengen pendekatan teori strukturalisme dapat teridentiîkasi tingkatan struktur jiwa manusia yang hierarkis bertingkat-tingkat, semua tingkatan jiwa tersebut dirangkum ke dalam konsep ukuran dimensi.Pertama, tingkatan terendah rasa jiwa adalah Juru Catet; Jiwa. Manungsa ukuran I yang menggambarkan fungsi kesadaran persepsi î¿sikal dari prilaku Di dalam surat Ad-Dhuha 41 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï²ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang permulaan.Menurut teori Al-Ghazali tentang struktur nafs relatif termasuk dalam konsep nafs ammarah yang sejalan dengan konsep jiwa ukuran I Ki Ageng Suryomen-taram. Nafs ammarah menggambarkan keadaan jiwa yang masih cenderung ke-pada orientasi dan motivasi rendah yang dikuasai kekuatan syahwat biologis dan insting semata syahwatiyah-bahimiyah, sehingga cendrung tidak akan terpuaskan dan membentur norma etis. Namun jika dipenuhi secara legal maka nafs ammarah berubah menjadi nafs marhamah ma rahima rabbi, nafs yang dirahmati Allah.56 Ar-Rum 7 Allah menjelaskan bahwa1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽïï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï 54 Sayid Quthb, Tafsir Fî Zhilâlil Qurâan, Jilid 6, hlm. 35755 Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, Jakarta Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010, hlm. Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 259 MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018214Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah tingkatan rasa juru cathet-cathetan yang menempatkan individu pada manungsa ukuran II jiwa manusia tingkat II dengan segala interest, ikatan kepent-ingan dan primordialismenya dalam memandang, bersikap, dan bertindak dengan sesama. Pada tingkatan ini manusia tidak tulus dalam interaksinya dengan sesama karena selalu dilandasi oleh kepentingan-kepentingan cathetan seperti latar be-lakang, pendidikan agama, profesi, madzhab, warna kulit dan Asy-Syams 81 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan tingkatan rasa kramadhangsa, ukuran kaping III tukang pikir, kesada-ran rasional. Pada tingkatan ini, olah rasa individu sudah sampai pada tingkat yang bagus karena mengalami proses pertimbangan logis rasional. Al-Mudasir 181 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï©ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan apa yang ditetapkannya.Keempat, tingkatan jiwa tertinggi adalah citra manungsa tanpa tenger ma-nusia tanpa ciri ukuran kaping Al-Hasyr 91 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï²ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman Anshor sebelum kedatangan mereka Muhajirin, mereka Anshor ÂŽmencintaiÂŽ orang yang berhijrah kepada mereka Muhajirin. Dan mereka Anshor tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka Muhajirin; dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang Ageng menjelaskannya,âWonten gambar kramadangsa punikaâKi Ageng nudingi gambar karamadangsaâing margi pratigan wonten aling-aling. Aling-57 Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 26158 Saâadi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 267 MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018215aling punika ngalang-alangi awakipun piyambak anjok dhateng ukuran kaping sekawan. Aling-aling punika mbela dhiri ingkang wujudipun pamanggih leres. Dados aling-aling ingkang ngalang-alangi awakipun piyambak anjok dhateng ukuran kaping sekawan wujud pamanggih leres.â pada bagan kramadangsa iniâKi Ageng menunjuk baganâdi jalan simpang tiga terdapat sebuah hijab. Hijab inilah yang menutupi diri kita untuk bisa sampai pada ukuran keempat. Hijab ini adalah upaya membela diri yang berwujud pendapat yang kita anggap benar. Jadi hijab yang menghalangi diri kita untuk bisa sampai pada level kesadaran keempat itu berwujud pendapat yang kita anggap benar.59H. Membangun Jiwa dalam Tasawuf Qurani JawiKi Ageng Suryomantaram menyampaikan bahwa âSapa wonge golek kepenak liyane ngepenakke tanggane, iku padha karo gawe dhadhung sing kanggo njiret gulune dheweâ, yaitu Orang yang mencari kenyamanan tanpa memberikan kenyamanan kepada orang-orang disekitarnya sama halnya dengan mengalungkan tali gantungan untuk menjerat lehernya sendiri. Disinilah Ki Ageng menyampaikan untaian-untaian kata yang tercantum di dalam al-Qurâan yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qurâan, yaitu dalam Surah Ali Imrân, Surah Kâf dan Surah Ali-Imrân 103 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïšïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïïŽïïï±ï£ïš ï²ïŽï°ï·ïï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïšï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï¥ï±ï£ïš ï²ïµï£ï€ïï®ïï²ï£ïš ïïšïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïï³ïï©ïï®ïïªïïŠï²ï£ïï¹ï£ï¡ï€ï¹ï³ï§ï²ï¹ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu masa Jahiliyah bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat Muhaji Fikriono, Kawruh Jiwa Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaram, Banten Javanica, 2018, hlm. 318 MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018216 Ki Ageng Soryomentaram menuturkan dalam menyebarkan kebenaran, lebih dahulu harus menghindari perselisihan. Dan hal ini senada dengan hadist Nabi Muhammad, dari Abu Umamah RA, ia menuturkan bahwa Nabi Muhammad bersabda âAku akan menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi mereka yang menjauhkan diri dari perdebatan meskipun ia berada di pihak yang benar.â602. Ali Imrân 112 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï²ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali agama Allah dan tali perjanjian dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kaîr kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Menurut Ki Ageng Suryomentaram bahwa hablumminallâh adalah penerimaan. Bahwa Tuhan itu sudah memberikan kepada manusia semuanya, ketika manusia akan dititipkan baik jiwa, ruh dan sebagainya. Namun, Bagaimana kita sebagai manusia, mengelaborasi diri untuk diri pribadi karena Tuhan sudah melimpahkan semuanya. Bekitu pula dengan hablumminannâs, yakni setiap manusia itu adalah cerminan dirinya sendiri. Ketika perbuatan seseorang baik ataupun jahat maka perbuatan tersebut pun bisa terjadi pada diri manusia itu Qâf 6 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ïï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽïïï» ï€ï¹ï€ïïïï ï ïïï¶ï·ï¹ï ï ïï©ï ï€ïïŒï¡ïšï ïïï Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat Ki Ageng Suryomentaram bahwa Ibadah yg benar adalah orang yg ti-60 Mahran Mahir Utsman, Serba Tiga dari Nabi Muhammad saw, Tangerang Lentera Hati, 2012, hlm. 203. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018217dak lagi mencari tuhan diluar dirinya, karena Tuhan sudah ada dalam dirinya sedekat urat Al-Lahab 1 ïï£ïï© ï©ï¡ï€ï£ ïï· ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ïïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ïŽïï®ïï¹ï ïšï£ï²ï§ïïï©ïïŽï³ï£ï ï€ïŽï ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ï§ïï¯ ï³ ï¡ï£ï³ïïï©ïµï² ï¹ïï£ïµïï²ïŠ ïªï¡ï€ï£ ïµïï¶ï±ï³ï©ïï¯ ï£ïï€ïŸï±ïï ïïžï³ï¹ ïšïïŽïïŽï ïŒï§ïï³ï¹ ïŽ ï€ïŽïïµï² ïïï§ï³ï¹ ï ïï©ï ïŸïïïïï²ïï ï ïï ïïï£ïµï² ïïïï ï¹ï·ï¹ïœïï¿ï¢ïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ï€ï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï€ï¹ï§ïšïœï¹ïšïžï§ï·ï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï£ïï¹ ïï· ïŽï¢ï²ïïïïïï£ï ï£ï¶ï±ïšïœï£ïŠ ïïï» ïïï¶ïïï»ï€ï£ ïï·ïµï² ï£ïïï€ïŒï¡ï³ï¹ ïŽ ïšï°ïŽï·ïï©ï»ï¹ïšïžï¹ï€ï£ïµï² ïŽï»ïŒïï©ïïïïï¹ïœïï¹ ïïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïïï¥ï©ï¡ï€ï£ ïŽï¬ï®ïœï¹ï» ï¹ï¬ï¶ï·ï¹ï ï»ïïºïµï±ï»ï¹ïï¹ï ï€ïï¥ï€ïŽï·ïï ïš ï€ïšï ï³ïïŽïï³ï¿ ïïï» ïï¬ï¹ïœï¹ïº ïï ï»ïµïï·ï±ï§ïï¹ï€ï£ ï ïï ï»ïï¢ï±ï»ïžï¿ï³ï¿ ïš ïï¬ï ïï¶ïï€ï€ï³ï¹ ïµïïŒïïŽï·ïžï¹ï€ï£ ï¶ïï¹ï€ ï³ïïŽïï³ï¿ ï ïï ï¹ïï±ï€ïïšï¹ ïïï ï¡ï€ïŽïïµï² ï€ïïïšïïŽï¯ï©ïŠ ï»ïï ï€ïžï¿ïŽï ïŽ ïšï¢ïï© ïœï§ïžï¿ïšïï¹ï€ï£ ïžï¯ïµïï€ïšïïï» ïï€ïŸï±ïï¡ï¹ï€ï€ïï¯ ïï·ïï© ï€ïŽï ïºïïïïµï ïŸïïï®ï±ïµï ïŽ ïšï¢ïï© ïïï®ï±ïµï ïïï±ï ï¿ïžï® ïïï¬ïïï§ï ïïïï ï€ï¯ïŽïï ïºï ïºï³ï¹ïµï² ïïï¶ïï¹ï» ï¹ï·ï©ï¹ ïºï ïï ïŽïï®ïŒï²ïï»ï€ï£ ïïï ïŽï¢ï±ïïï®ïœïŽïšïŽï ï£ïïïï§ï»ï³ï ïºï ïï©ï ïï¯ïŽï±ïµïï°ïŽïžïºï€ï£ ï€ïµïï·ïïïï¹ï€ï£ ï¶ïïšï€ïµï² ïï ïŽï£ ïï¯ïŽïï ïºïï¹ï€ï£ ï¶ï¯ï£ïŠ ïŽï¢ï±ïšïœïï¿ï»ïžï® ïïï ï€ï¹ï§ï¹ïï¯ï¬ï¹ï»ï²ï§ï³ï¹ ï€ï¹ï€ïµïï±ïšï§ï©ïº ï€ï¹ï§ï±ïµï±ïžï©ï³ï¿ïµï² ïïï ïŒï§ïï¯ïïï© ïŽïï©ï³ï³ï¹ ïµïï£ïï³ï¥ïµï² ïïïï ïŽï»ï¯ïï¥ï©ï¡ï€ï£ïµï² ï²ï¢ï€ï§ï±ïŽï·ï³ï¿ ïµïï£ï€ï€ï¡ï€ï£ ïºï ï»ï¹ïïïïœï€ï£ïµï² ï ïï ï¶ï¯ï ïïïœï¶ï·ï³ï¥ ïŽï¢ï±ïï·ïïŽï€ï ïŽï ïŽï ïŽïï¹ïï€ï¹ï€ ï¶ïïï«ï¶ïï³ï¹ïï© ïï·ïµï² ïŽï¢ï²ïïï ï§ï³ï ïïï» ï¶ïïï€ïïï²ïïïï¹ ïï°ï¹ïï¥ïŽï® ï¡ï€ï£ïïï©ï ïšï£ï±ïšï¿ï²ï©ïŠ ïï£ï²ï£ïïïï·ï³ï£ïïµï² ï£ïï®ï¿ïŽï£ ï¶ïïï«ï ïŠï ï¿ïï²ïŠ ï¶ï±ï³ï¹ïµï² ïŽï¢ï¥ïžï® ï¶ïïï«ïïµ ïï°ïŒï¹ï€ïŒïï¹ïº ïŽ ï ïŽïïµï² ï³ïï±ï£ï ï£ïžï€ï© ïŸïïï ï¡ïžï¿ïŽï ïïïïŽï¯ï»ï³ï¹ï§ï²ï©ï§ï³ï¹ ï£ïïšï€ ïï£ï±ïï³ïïœïžï¿ïïïžï¹ï€ï£ ïïï ï²ïµï£ï€ï£ïŽïïŽïï ïïï±ï£ïš ï²ï¿ïŽï°ï·ï¶ïï ï£ï€ï¡ï« ïï¹ïïïïšïï€ ï²ïµï·ï ï¿ï³ï¿ïžïï§ï¥ïšï±ï£ïš ïŽ ï²ïµï£ï€ïïžï®ï€ïï£ï²ï£ïš ïïïšï·ïï¹ïïŒ ï£ï€ï¡ï« ïŠïŽïœï®ïïžï³ï€ïï¶ ï©ïïïž ï®ï€ïïªï€ïï· ïŠï²ï£ïŽïï¹ï£ï¡ï€ï ï¹ï³ï§ï²ï¹ï©ï£ï¹ ï¯ïŽïŒï·ï»ïŽ ï¶ïï€ï³ïï¯ï±ïšïœïšï¥ ïï€ïªï³ï³ïŽï·ïŽï¹ï²ï§ï³ï¹ ï¿ïŸïïïïïµïï·ïšïïïï¯ ï€ïïïºïµï±ï·ïºïï© ï·ïï€ïªïï€ï®ïµï² ïŽïï®ï¿ïŽï£ ï€ïžï¿ïžï© ï»ï¯ïŽïïžï¿ï£ï ïºï ïï©ï ïïï€ïšïï¹ï€ï£ ïï€ï®ïžïï³ï©ïï²ï§ï³ï¹ ï€ï°ï«ï·ïïï©ï ï³ ï¹ï·ïï¹ïºïžïïžï® ïï»ïï©ïŒïŽï¶ï£ï ïªï¡ï€ï£ ï¶ïï€ï³ï³ï¹ ïŸïïïïï»ïŽïï£ïµï€ ï·ï¯ï€ï³ïªïœï¹ïšï³ï¹ ïŽï¢ï²ïïïŽïï¶ï«ï³ï ïïïïï ïï ïïï¯ïŽïïŽ ï£ïŽïœï®ïï¶ï«ïïï£ ï£ï€ï¡ï¥ï¥ïï¹ï©ï°ïš ïŠï²ï¯ïžï»ïŽ ïïŽï€ ïïšï©ïï¿ï ï±ïŸï£ïš ï©ïï·ï ï²ï¿ïŽï°ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ï²ïµïï¹ï¶ï¶ïï¹ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¹ïïšï€ïšï ï²ïµï¯ïŽï€ï¡ï€ï¢ï² ï¯ïï³ïŽïïïœïµ ïï©ïï ïº ï£ï€ï¡ï« ïŽïïŽï¯ïïï ïïµï² ï£ïïï«ï¶ïï®ïœïŽï£ ïšï°ïµïï³ï³ï³ï¡ï¹ïïžï¹ï€ï£ ïŽ ïïïï¹ïºï³ï ï¶ïïï§ï¯ïï²ï§ïï¯ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï® ïŽï¢ï²ï£ïï ï¿ïµï³ïŽï ïïï»ïŽïï€ïŽï«ïï¯ ï«ï¡ï€ï£ ïŽï¢ï±ïšïœï§ïïžï©ïŽïïµï² ïµï€ï¡ï€ïµïïï»ï¯ïïï»ï€ï£ ïïï¶ïïŽï³ïï¯ ï¹ï€ï¬ï¹ï ïŽ ï¹ï·ïï¹ïºï³ï ï€ï¹ïïï¯ ïšï£ï±ïŒïïŽï£ ïšï£ï±ï§ïï¥ïžï®ïšï² ïŽï¢ï²ïïïŽïï·ïšïŽï ïïïïï ï²ïµï¹ï³ï©ï³ïïŽ ïºï¹ïœï®ï©ïžïïµï€ ï£ï€ïœïïï¡ïŒï»ï ïº ï²ïµïïŽïšï·ïœï®ïï ïïŽï€ ï¿ïšï±ïµïï³ï±ïïšï¢ ï¯ïïïïŸ ïïŽï¿ïžï¡ïïï§ïŒ ïš ï²ïµïï·ïŽïžï ï ïŠï²ï¥ïžïïŽïŸï ï©ïï¹ï³ïïžïï ïïï ïŽ ïï¹ï·ï¶ïï ï£ï€ï¹ïžï±ïµïïïïï ïïïï ïïï»Yang di lehernya ada tali dari sabut. Ayat tersebut mengandung dua makna. Pertama, Membawa tali dari sabut, artinya karena bakhilnya, dicarinya kayu api sendiri ke hutan, dililitkannya kepada lehernya, dengan tali daripada sabut pelepah kurma, sehingga berkesan kalau dia bawanya berjalan. Kedua, membawa kayu api kemana-mana, atau membawa kayu bakar. Membakar perasaan kebencian kepada Rasulullah dengan mengada-adakan yang tidak ada. Tali dari sabut pengikat kayu api îtnah, artinya bisa menjerat lehernya Kesimpulan Dari banyaknya para suî yang terjun dalam dunia spiritual yang senantiasa berpedoman pada al-Qurâan dan Hadist, Ki Ageng Suryomentaram termasuk sederet yang dikategorikan seorang suî tulen yang berpedoman pada tuntunan al-Qurâan dan Hadist. Hal ini disinyalir dengan setaranya ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram, misalnya pertama mulur mangkret seperti itu masih jauh dari maqâm zuhd sebagai titian awal agar hati dekat dengan al-Khâliq. Kedua keluar dalam lingkaran istana demi menemukan orangâ seperti itu merupakan masuk maqâm taubat. Kemudian ketiga beliau menemukan maqâm mujahadah dengan melakukan pengembaraan hidup demi mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya. Selanjutnya keempat, Ki Ageng menemukan maqâm syukur dengan menjalankan hidup sesuai dengan kebahagiaan yang sebenarnya diinginkan. Kelima, maqâm istiqâmah yang dijalankan untuk meninggalkan gemerlapnya kehidupan dunia di dalam sebuah kerajaan yang mempunyai fasilitas yang lengkap. Keenam, dengan maqâm dengki beliau melewati semua rintangan hidupnya untuk terus bisa menjaga perasaan diri dan menjauhkan sifat-sifat iri dan sombong. Ketujuh, maqâm ikhlas pun dijalankan Ki Ageng dengan rela menjalankan hidup jauh dari kemewahan dan menjalankan kehidupan dengan hati tulus. Dan sepertinya tingkatan-tingkatan maqâmat para penempuh jalan suci dilewatkan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Oleh karenanya beliau pantas dikategorekan seorang suî sunni karena menjalankan semuanya tidak keluar dari zona Al-Qurâan dan Hadist. MumtÀz Vol. 2 No. 2, Tahun 2018218Daftar PustakaAbdullah Asy-Syarkawi, Asyarh Al-Hikam Ibnu Athaâillah al-Iskandari, Jakarta Turos, 2017Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung Mizan, 2005Bastaman, HD. Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 196. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Abdurrahman El-Ashiy, Makrifat Jawa untuk Semua, Jakarta Serambi Ilmu Semesta, 2011, Cet. IFikriono, Muhaji, Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram, Jakarta Penerbit Noura Books PT Mizan Publika, 2012Kartanegara, Mulyadi, Lentera Kehidupan Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia, Bandung Mizan, 2017, Cet. IMahir Utsman, Mahran Mahir Utsman, Serba Tiga dari Nabi Muhammad saw, Tangerang Lentera Hati, 2012 Muthahhari, Murtadha, Fitrah Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jatidiri Manusia, Jakarta Penerbit Lentera, 2008, hlm. 31. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan ManusiaNitinegoro, Soemardjo Nitinegoro, Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaaan Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta Foundation of Higher Education PUTRAJAYA, 1980Quthb, Sayid, Tafsir Fî Zhilâlil Qurâan, Jakarta Gema Insani, 2000, Jilid 7Rakhmat, Jalaluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, Bandung Simbiosa Rekatama Media, 2008, hlm. 107, Lihat juga tulisan Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Kebahagiaan, Bandung Serambi, 2010. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan Kawruh Jiwa Suryomentaram, Jakarta Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010Sarwiyono, Ratih Sarwiyono, Ki Ageng Suryomentaram Sang Plato Dari Jawa, Yogyakarta Cemerlang Publishing, Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta Elex Media Komputindo, 2008, hlm. 19. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan ManusiaSuryomentaram, Grangsang, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, Buku I, Jakarta CV. Haji Masagung, 1989 Suryomentaram, Grangsang, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, Jilid II, Jakarta CV. Haji Masagung, 1990Yuswohady, âMeredeînisi Ukuran Suksesâ, dalam Kompas, Jumâat, 12 Desember 2014. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari - Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Manusia. ... The Javanese kebatinan movement is a mesu-budi movement which means to train human character to build subtle thoughts and feelings so that life becomes peaceful and happy Fudyartanto, 2016. In the context of psychology, kebatinan is used to show the basic philosophy of man as an integrated, real and undivided person Nawawi, Hannase, & Safei, 2018. ...The Indonesian nation as a large nation consisting of various religions, ethnicities, and cultures, of course, deserves to have the aspiration to have a basic human philosophy paradigm based on Indonesian culture based on dialogue between the soul sciences that live in Indonesian human cognition. This study aims to present the concept of basic human philosophy in the teachings of Ki Ageng Suryomentaram. The research method uses Gadamerian hermeneutics in a qualitative approach. The collected data is then analyzed using Parts and Whole analysis and then checked the validity of the data through the stages of credibility, transferability, dependability, and confirmability. The results of the study describe human philosophy based on basic needs, essence, existence, and the structure of the human personality. The conclusion of the research refers to the basic human philosophy based on local wisdom for the science of guidance and counseling. Abstrak Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar yang terdiri dari berbagai macam agama, suku dan budaya, tentunya layak jika memiliki cita-cita memiliki paradigma filsafat dasar manusia berbasis budaya khas Indonesia dengan berlandasakan dialog antara ilmu-ilmu jiwa yang hidup dalam kognisi manusia Indonesia. Penelitian ini bertujuan menyajikan konsep filsafat dasar manusia dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Metode penelitian menggunakan hermeneutika Gadamerian dalam pendekatan kualitatif. Data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan analisis Parts and Whole dan selanjutnya dicek keabsahan datanya melalui tahapan kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian menjabarkan filsafat manusia berdasarkan kebutuhan dasar, esensi, eksistensi, dan struktur kepribadian manusia. Kesimpualan penelitian mereferensikan filsafat dasar manusia berbasis kearifan lokal untuk ilmu bimbingan dan Septio AjiRuseno ArjanggiKasus bunuh diri yang marak dialami oleh golongan lansia di Indonesia di antaranya disebabkan depresi dan kesepian. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap dinamika raos begja pada lansia yang tergabung sebagai pelajar kawruh jiwa. Raos begja dapat diartikan sebagai perasaan tentram yang tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan papan, wekdal, lan kewontenan. Raos begja dikonstruksikan oleh Suryomentaram, dan erat kaitannya dengan paradigma authentic happiness, sekaligus paradigma subjective well-being. Raos begja dapat dicapai ketika individu mampu mengimplementasikan kawruh begja pengetahuan tentang kebahagiaan. Paradigma kawruh begja ini terhimpun sebagai inti ajaran kawruh jiwa pengetahuan tentang jiwa manusia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan di desa Gombang, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Tiga partisipan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan teknik purposive samping dengan kriteria, 1 berusia 60 tahun ke atas, dan 2 sudah lebih dari tiga tahun aktif di kegiatan junggringan salaka. Pengambilan data menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi. Analisis data menggunakan perangkat analisis studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan gambaran seorang lansia tipe konstruktif, dan menemukan empat tema besar, 1 faktor yang mempengaruhi raos begja, 2 aspek raos begja, 3 fungsi junggringan salaka, dan 4 dinamika raos begja. Hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan dalam merancang program intervensi untuk meningkatkan nilai kebahagiaan pada lansia. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan pijakan dalam penelusuran yang lebih mendalam mengenai konstruksi teori psikologi berbasis kearifan D BastamanIntegrasi BastamanPsikologi DenganIslamBastaman, HD. Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 196. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari -Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Abdurrahman El-Ashiy, Makrifat Jawa untuk Semua, Jakarta Serambi Ilmu Semesta, 2011, Cet. IMulyadi KartanegaraLentera Kehidupan Panduan Memahami TuhanDan ManusiaKartanegara, Mulyadi, Lentera Kehidupan Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia, Bandung Mizan, 2017, Cet. IMahran Mahir Utsman, Serba Tiga dari Nabi Muhammad sawMahir UtsmanMahir Utsman, Mahran Mahir Utsman, Serba Tiga dari Nabi Muhammad saw, Tangerang Lentera Hati, 2012Jalaluddin RakhmatMeraih RakhmatKebahagiaanRakhmat, Jalaluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, Bandung Simbiosa Rekatama Media, 2008, hlm. 107, Lihat juga tulisan Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Kebahagiaan, Bandung Serambi, 2010. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari -Juni 2015Erbe SentanuSentanuSentanu, Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta Elex Media Komputindo, 2008, hlm. 19. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari -Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Manusia Suryomentaram, Grangsang, Kawruh Begja Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram, Buku I, Jakarta CV. Haji Masagung, 1989Meredefinisi Ukuran SuksesYuswohadyYuswohady, "Meredefinisi Ukuran Sukses", dalam Kompas, Jum'at, 12 Desember 2014. Dinukil dari JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 1, Januari -Juni 2015 Muskinul Fuad Muskinul Fuad Psikologi Kebahagiaan Manusia.
EyQOnJ.